Rabu, 29 Februari 2012

[Fanfiction] Take Me With You (part 3/?)



Eunji POV

Aku dan Donghae keluar dari toko buku sambil menjinjing sebuah kantung plastik besar dan berat. Buku buku referensi untuk tugasku memang banyak. Sedikit sedikit lama lama jadi bukit. Satu buku memang ringan tapi kalau ditumpuk banyak-banyak berat juga.

“Mau ku bantu?”, kata Donghae sambil berusaha mengambil kantung plastik itu dari tanganku.

“Ah..ani, tidak usah. Aku bisa sendiri”, jawabku. Padahal dalam hati aku ingin beban ini dibagi dua agar lebih ringan.

“Gwaenchana, aku saja yang membawa”. Ia pun mengambil beberapa buah buku yang cukup tebal dan memasukkannya dalam tasnya.

“Gomawo”, kataku singkat. Donghae hanya tersenyum padaku.

 “Jadi…bagaimana? Masih mendapat surat penggemar?”, kataku mengawali pembicaraan. Donghae tertawa kecil menanggapiku.

“Kenapa? Kau cemburu?”, ia membalasnya dengan pertanyaan. Aku menggeleng.

“Ani…aku hanya bertanya”.

“Ada sih…tapi tidak sebanyak sebelum kita punya hubungan”, jawabnya.

“Ah, apa mereka tidak tahu kalau kau tidak single lagi?”.

“Tahu. Tapi mereka pura-pura tidak tahu”.

“Aneh”, ujarku. Kabar tentang aku dan Donghae yang menjalin hubungan memang cepat sekali menyebar, entah dengan media apa. Bagaimana tidak, namja paling populer bersanding dengan yeoja yang tak kalah populer juga. Such a hot gossip, right?

Oke, oke. Tadi itu hanya bercanda. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri tapi begitu lah kenyataannya.

“Apa kau juga masih mendapat surat dari ‘penggemar’ mu?”, tanya Donghae sambil memandang langit siang menjelang sore yang menaungi kami sekarang.

“Um…hanya beberapa”, kataku jujur.

“Baguslah kalau begitu”, ujarnya. “Aku takut kau akan…berpindah haluan?”.

“Yak ! Kau bicara apa !”, kataku sambil memukul pelan bahunya. Ia hanya tersenyum sambil mengacak acak rambutku.

“Bagaimana kabar adikmu?”, tanya Donghae.

“Minhee...sekarang dia punya teman baru”.

“Memangnya sebelumnya dia  tidak punya teman?”.

“Punya, tapi tidak terlalu banyak”, jawabku. “Sekarang dia jadi sering menghabiskan waktu dengan temannya itu. Kebetulan ia tinggal di seberang rumahku”.

“Oh ya? Namja? Atau yeoja?”.

“Namja. Namanya Kyuhyun. Kelihatannya dia baik. Mereka berdua cocok sekali. Sama sama kutu buku, sama sama suka main game pula”, terangku panjang.

“Apa mereka seumuran?”.

“Ah, iya. Mereka sama sama kelas 11 sekarang”.

Donghae mengangguk-anggukkan kepalanya dan kami terus berjalan. Kebetulan toko buku dan rumahku tidak terlalu  jauh jaraknya hingga kami memutuskan untuk jalan kaki saja.
Kami pun menyebrang jalan dan ia meraih tanganku untuk menggenggamnya. Aku melirik Donghae sejenak dan tersenyum malu. Ia ikut tersenyum dan kembali menatap jalanan, mencari celah celah dan waktu yang tepat untuk kami menyebrang.

“Ayo, sekarang”, ujar Donghae. Aku mengangguk dan berjalan bersamanya.

Dari sudut mataku, aku melihat sepeda motor yang jaraknya sangat dekat denganku, hampir menabrakku. Aku mati-matian ingin melakukan gerak refleks agar menjauh tapi tidak, otakku ingkar melakukannya. Aku pun membelalakkan mataku saat sepeda motor itu….

BRAK

“Eunji !”

~***~

Minhee POV

“APA?”, ujarku terkejut saat Donghae oppa menelfon. “Oke, oke, aku akan segera ke sana. 15 menit lagi aku akan sampai”.

Aku begitu terkejut saat mendengar Eunji eonni tertabrak sepeda motor saat akan menyebrang. Ku hentikan bacaanku dan segera memakai baju yang pantas secepat kilat. Kemudian membuka pintu kamar dengan tergesa gesa dan segera keluar rumah, tak lupa mengunci pintunya. Dengan secepat yang ku bisa aku berlari menyusuri jalan keluar menuju jalan raya. Aku tidak boleh terlambat. Ini sangat sangat mengerikan hingga aku nyaris meneteskan air mataku.

Sampai di jalan raya aku segera menyetop taksi, dan memberitahukan rumah sakit tempat Eonni berada sekarang. Aku duduk dengan gelisah, ditambah pula jalanan sore yang macet membuat kegelisahanku membuncah. Aku ingin cepat sampai, doa ku dalam hati.

~***~

“Donghae oppa !”, kataku di ujung telfon. “Oppa dimana? Aku sudah di luar rumah sakit !”.

“Di depan ruang UGD”, jawab Donghae oppa. Aku berlari melewati jalan masuk rumah sakit yang luas dan tidak menghiraukan lelahnya kakiku. Aku harus sampai, segera. Meskipun aku tidak ingat dimana ruang UGD.

Setelah aku mencari cari ruang UGD, aku menemukannya dan mendapati Donghae oppa sedang berdiri di depan pintu ruangan tersebut. Aku segera menghampirinya dan ia terkejut melihatku.

“Minhee”, ujarnya. “Akhirnya kau datang”.

“Mana eonni?”, tanyaku dengan nafas yang masih tersengal-sengal.

“Masih di dalam”, jawab Donghae oppa sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.

“Memangnya kenapa eonni bisa tertabrak? Apa Oppa tidak melihatnya?”, tanyaku lagi.

“Dia…”Donghae oppa terlihat lelah, ia menaruh kedua telapak tangannya di wajahnya dan menghela nafas berat. “Aku tidak tahu, Minhee, aku mohon jangan salahkan aku. Kami sedang menyebrang waktu itu, dan saat itu aku sedang melihat ke arah berlawanan. Saat ada sepeda motor dia tidak menghindar atau bagaimana, malah terdiam, dan aku..aku..aku tidak sempat…”

“Terdiam?”, kataku. “Aneh sekali. Bukankah dengan gerak refleks seharusnya eonni menghindar atau bagaimana…”.

“Itu yang aku tidak tahu”, kata Donghae oppa. “Minhee, apa kau mau memaafkanku atas keteledoranku?”.

“Aku…”, kataku lalu terdiam. “Aku tidak tahu oppa. Lebih baik oppa minta maaf saja pada Eunji eonni”.

“Baiklah—“

Pintu UGD pun terbuka dan kami berdua serentak melihat ke dalam. Dokter itu mempersilahkan kami masuk, dan kami pun masuk ke dalam ruangan berbau obat obatan campur darah itu.

Aku melihat Eunji eonni terbaring lemah disana, tak tersirat senyuman di wajahnya seperti yang biasa ia lakukan. Aku sedikit terisak dan mengenggam tangan eonni. Aku takut akan terjadi apa-apa. Aku takut Eonni tidak akan bertemu denganku lagi besok. Aku takut, aku cemas, aku mengkhawatirkan saudara ku satu satunya ini.

“Pasien ini mengalami luka cukup dalam di bagian kepalanya, namun tidak terlalu parah. Hanya perlu pemulihan dan waktu istirahat sekitar satu minggu lebih”, jelas dokter yang menangani Eunji eonni. Aku menghela nafas lega, karena Eunji eonni tidak menderita sesuatu yang lebih parah.

“Seminggu?”, kataku lagi.

“Ya, seminggu sampai dua minggu”, ujar dokter itu meyakinkan ku.

“Tapi dokter..”, Donghae oppa mulai berbicara. “Biasanya jika orang menyadari kalau dia akan di tabrak, dia akan refleks menghindar. Tapi Eunji…aneh sekali. Dia hanya diam di tempat..”.
Dokter itu sedikit terkejut dengan pernyataan Donghae oppa. Aku sendiri menatap keduanya bingung.

“Benarkah?”. Donghae oppa mengangguk.

“Coba saja datangi bagian neurologi, mungkin kalian akan mendapat penjelasan yang lebih lanjut”, kata Dokter itu yang langsung membuatku bergidik ngeri. “Saya tinggal dulu”.
Pintu pun tertutup dan hampa langsung menyelimuti ruangan ini. Aku menggenggam tangan Eonni, berharap dia bangun dan langsung tertawa melihat eskpresiku yang sedang separuh menangis ini. Tapi tidak, dia tidak terbangun.

Sementara itu Donghae oppa mengelus kepala Eonni yang ditutupi perban separuhnya dengan tatapan penuh penyesalan dan penuh harap. Ia menundukkan kepala, mungkin menahan tangisnya. Aku jadi ingin mempercepat waktu, ke waktu dimana Eonni sudah sembuh dan bisa tertawa lagi.

“Oppa..”, ujarku. Donghae oppa pun melirik ke arahku. “Oppa tidak salah. Jangan terlalu dipikirkan, oppa. Lebih baik kita berharap dan berdoa supaya Eonni cepat sembuh”.
Donghae oppa kembali menghembuskan nafas berat, seakan berusaha menunjukkan isi pikirannya sekarang. 

“Aku juga berharap begitu, Minhee”.

Ya, berharap. Hanya itu yang bisa kami lakukan sekarang.

“By the way…kenapa dokter tadi menyarankan untuk memeriksakan Eonni ke bagian neurologi?”, kataku bimbang. Apa eonni mengidap sebuah penyakit?

“Aku..tidak tahu juga”, balas Donghae oppa. “Tapi sebaiknya kita turuti saja kata dokter itu. Dia lebih tahu dari kita”.

Aku mengangguk angguk, mempertimbangkan perkataan Donghae oppa di pikiranku.

“Semoga ini bukan awal dari sesuatu yang buruk”, kataku penuh harap.

~***~

Aku melirik ke kiri dan ke kanan dengan intens. Beberapa orang yeoja yang tidak ku kenal di sekolahku menatapku seakan aku adalah mangsa mereka. Aku tetap tersenyum meskipun dalam hati aku takut akan menerima cercaan dari beberapa orang di antara mereka.

“Kyuhyun, bisa hentikan permainanmu?”, ujarku perlahan tentunya.

“Sekali ini saja. Untuk pembuktiannya”, kata Kyuhyun tak kalah pelannya.

Baiklah, aku jelaskan. Kyuhyun memintaku berpura pura menjadi yeojachingu nya agar yeoja yeoja di sekolah ini berhenti mengincarnya. Dan aku di iming imingi oleh dua buah novel terbaru yang sudah ku tunggu tunggu rilisnya oleh Kyuhyun dan apa yang bisa kulakukan selain menerima tawarannya? Aku akui, aku mudah terbujuk bila menyangkut soal buku. Dan kini, ia sedang merangkulku dari kantin hingga menuju kelas. Wajar saja satu sekolah tahu. Ia menyatakan perasaannya (lebih tepatnya, berpura pura menyatakan perasaannya) di depan umum yang tentu saja sudah ia scenario kan sebelumnya. Memalukan !

#Flashback

Aku sedang sibuk menghabiskan makananku di kantin, ketika Kyuhyun menyenggol tanganku dan ia tersenyum. Aku sudah mengetahui scenario nya, jadi aku berpura-pura gugup.

“H..hai Kyu”, ujarku pelan. Akting ku sangat bagus waktu itu. Benar benar seperti seorang yeoja yang mengincar Kyuhyun kemudian disapa oleh Kyuhyun. Gugup.

“Hai Minhee”, balas Kyuhyun yang langsung membuat beberapa yeoja melirik ke arah kami. Mereka sibuk berbisik bisik, yang pastinya sedang membicarakanku.

Kyuhyun menarik tanganku dan mengajakku berdiri. Ia mengajakku ke tengah kantin sambil menggandeng tanganku. Hampir semua orang di kantin melihat ke arah kami. Aku semakin gugup.

“Minhee, aku mungkin baru mengenalmu sejak insiden di toko buku beberapa minggu yang lalu. Dan kita bertemu dengan kejadian yang tidak mengenakkan sebenarnya. Tapi…”. Ia menghentikan perkataannya sejenak dan suasana berubah menjadi hening. Kyuhyun masih menggenggam tanganku.

“Tapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Aku suka Minhee”.
Lihat, betapa pandainya dia berbohong.

Suasana kantin berubah menjadi riuh dan aku menundukkan kepalaku, berpura pura tersenyum. Walaupun bohongan tapi aku masih tetap merasa gugup. Sampai sampai tanganku bergetar karena nervous. Siap siap saja, aku akan mendapat banyak ‘serangan’ dari kakak kelas maupun teman teman seangkatanku sendiri.

“Aku mau Jung Minhee menjadi yeojachingu ku”, ujarnya kepadaku sambil tersenyum manis.

Jantungku berdebar tidak beraturan mendengar perkataannya.

“A..aku..”, kataku pura pura terbata bata. “Aku mau”.
Semua orang sepertinya terkejut. Yeah, siapa sangka Kyuhyun yang anak baru disini, yang populer se antero (?) sekolah menyatakan perasaannya padaku. Jung Minhee, yeoja populer hanya karena prestasinya. Seperti mengharapkan pohon apel akan berbuah pisang. Seperti itulah ekspetasi orang lain.

Flashback Off

Dan akhirnya, aku bernafas dengan lega. Aku sampai di kelas dengan selamat. Setelah Kyuhyun melambaikan tangannya padaku dan membentuk seulas senyum di wajahnya yang bisa melelehkan hati yeoja manapun (kecuali aku), ia beranjak dari kelasku. Aku pun duduk di bangku ku dengan pura-pura tenang dan senang.

Aku jadi berpikir bagaimana bila perkataannya beberapa hari yang lalu itu benar benar, tanpa ada kepura-puraan. Aku jadi bingung akan menerimanya atau tidak. Dan aku tersadar, kenapa aku harus memikirkannya? Memangnya aku punya perasaan apa padanya? Tidak ada  kan?

Dan kenapa aku terus memikirkan hal itu?

Aku menggaruk garuk kepalaku dengan bimbang.

Apa perasaan itu benar benar ada di hatiku tapi aku tidak menyadarinya?

~***~

Aku tidak percaya dengan isi amplop cokelat yang ku pegang sekarang. Aku malah berpikir, apa aku sedang bermimpi?

Tadi aku mengambil hasil tes Eonni ku dari rumah sakit bagian neurologi. Seperti kata dokter di UGD waktu itu, aku membawa Eonni ku ke bagian neurologi. Ia menjalani serangkaian tes untuk menentukan penyakit apa yang sedang di deritanya, dan memintaku untuk mengambil hasil tesnya beberapa hari lagi.

Dan inilah, hasil tes nya ada di tanganku sekarang.

Sebelumnya aku jarang mendengar nama Spinocerebellar Ataxia. Dan kini, Eonni ku adalah salah seorang pengidap dari penyakit yang tidak bisa di sembuhkan tersebut.

Fantastis. Aku tidak pernah meminta anggota keluarga ku untuk diberikan sebuah penyakit parah, namun yang terjadi justru sebaliknya.

Aku mengusap air mata yang akhirnya jatuh tanpa ada halangan dari sudut mataku. Tidak, pikirku. Menangis tidak akan menyembuhkan Eonni ku. Aku pun berusaha menahan gejolak yang bergemuruh dalam dada ku. 

Sebisa mungkin aku harus bertahan.

Kemudian aku mengambil ponselku, teringat sesuatu. Ku cari kontak dengan nama “Appa” di ponselku, kemudian menekan tombol dial. Dengan takut takut aku mendengar suara nada sambung tersebut. Aku pun mondar mandir di sekitar kamarku, menunggu Appa yang mungkin sedang berbicara dengan kliennya atau sedang melakukan hal lainnya menjawab telfonku.

“Halo, Minhee”, sapa Appa ku dari seberang.

“H..hai Appa”, jawabku pelan. “Sekarang Appa ada dimana?”.

“Appa sedang ada di Busan”. Jawaban Appa seakan meruntuhkan harapanku.

“Di Busan..?”, ulangku.

“Ya Minhee, kenapa?”.

“Kapan kita bisa bertemu, Appa?”, tanyaku. “Ada sebuah hal yang penting”. Sangat penting.

"Lusa Appa akan pulang”, jawab Appa ku lagi. “Kalau memang benar benar mendesak, Appa akan pulang besok”.

“Ah, ani, tidak apa-apa”, tolakku. “Kalau Appa memang bisa lusa, ya sudah, aku akan menunggu. Sampai jumpa, Appa”.

“Benarkah?”.

“I..iya, benar. Sampai jumpa, Appa”.

“Sampai jumpa juga Minhee”.

Aku memutuskan sambungan dan menghempaskan diri ke tempat tidur. Sekarang bagaimana? Apa aku bisa bertahan selama dua hari dengan perasaan was-was?

Aku teringat dengan Eomma. Dan kemudian aku teringat Appa. Andaikan mereka tidak bercerai, mungkin sekarang aku sudah bisa mengadu dengan mereka. Dan aku tidak usah menanggung beban ini sendirian. 

Aku bahkan tidak meminta untuk menanggung semua ini, namun sekali lagi, semua yang tidak ku minta malah terjadi.

Sambil menatap nanar amplop cokelat berisi pernyataan mengejutkan itu, aku berpikir. Aku akan mengirim hasil tes ini kepada Eomma, setelah Appa pulang. Biarlah kertas itu saja yang berbicara, kata kataku tak akan cukup untuk menjelaskannya. Dan yang pasti, Eonni belum boleh tahu tentang hal ini. Aku bukannya bermaksud menyembunyikan, tapi aku masih berpikir kalau Eonni belum berhak tahu hal ini. Ia harus siap dulu, baru bisa mengetahuinya.

Layar ponsel ku berkedip kedip dan ponselku bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku mengambilnya dengan malas, dan niatku untuk mengangkat telefon itu juga berkurang saat membaca caller ID nya.

"Ada apa?”, kataku tanpa basa basi.

“Minhee, kau bisa keluar rumah sekarang? Aku ada di depan pintu”.

“Bagaimana kalau tidak?”.

Helaan nafas Kyuhyun terdengar jelas dari sini. “Jangan mengulur ulur waktu, tukang komplain. Atau aku akan mendobrak pintu rumahmu dengan membawa pisau dan—“

“Baiklah, aku akan keluar”, ujarku.

“Aku tunggu 15 detik lagi”, katanya. Aku berjalan dengan malas keluar dari kamarku hingga menuju pintu masuk rumahku.

“Lima detik lagi…”

Aku membuka pintu rumah ku dan mendapati Kyuhyun sedang berdiri di sana dengan senyuman khas nya. Memang, saat itu dia hanya memakai baju biasa, tapi…sekarang aku menemukan sesuatu yang lain pada dirinya. Perasaan yang ku rasakan di sekolah waktu itu muncul lagi. Aku menepis segala anggapan dan opini yang bermunculan di benakku, kemudian menatap lantai teras rumahku yang dingin untuk menyembunyikan perasaan gugupku.

Umm..anyway, kenapa aku harus merasa gugup?

“Minhee…”, ujarnya. Ia memegang bahu ku dan aku mengadah ke arahnya.

“Apa?”, kataku senormal mungkin.

“Kau tahu Minhee..aku ingin kau membantuku..”.

Tolong, jangan katakan hal yang lebih buruk, batinku.

“Mengerjakan tugasku”, ujarnya pendek.

Aku yang tadinya diam, kemudian membentuk seulas senyum yang berubah menjadi tawa. “Kau gila, mendatangi rumahku hanya untuk mengatakan itu?”.

“Karna kalau aku langsung mengatakan nya denganmu tadi, aku yakin kau akan menolak”, katanya mengutarakan pendapat. “Jadi….kau mau?”.

“Terserahmu lah”, kataku malas. “Aku…sebenarnya sedang tidak ingin diganggu”.

“Ah, maaf, kalau begitu aku akan pergi”, ujar Kyuhyun, yang langsung membuatku sedikit bersalah.

“Bukan, maksudku..bukan begitu. Tapi aku sedang...umm..tidak usah dipikirkan”, kataku terbata-bata. 

“Baiklah, aku akan membantu mu”.

Sebuah senyuman yang terbentuk di wajahnya lantas langsung membuat darahku berdesir. “Terimakasih”.

Aku mengangguk. Lantas aku bisa berbuat apa lagi?

~***~

“Bukan begitu, coba lihat contohnya”. Kyuhyun menyerahkan buku teks nya ke arahku dan aku mengambilnya dengan malas malasan. Meskipun pemandangan taman belakang rumah Kyuhyun yang berada di depan mataku ini cukup menyegarkan, tapi tetap saja, hati tidak bisa berbohong. Aku masih gelisah dengan hasil tes Eunji Eonni.

Sampai saat ini kami belum menemukan penyembuhnya”.
Kata kata Dokter Joonmi—spesialis neurologi terbaik di kota ini—yang ku temui tadi terngiang ngiang di kepalaku. Aku menatap layar laptop di hadapanku dengan pandangan kosong. Pikiranku melayang kemana-mana.

Sebagian diriku ada yang meyakinkan kalau kata kata Dokter Joonmi itu salah. Dia kan manusia juga, siapa sih manusia normal yang bisa memprediksi suatu hal dengan 100 persen tepat? Siapa tahu suatu saat ada manusia yang bisa menemukan penyembuh dari penyakit Eonni ku itu. Pasti ada, tapi belum ada manusia yang menemukannya.

Dan, sebagian diriku lagi mengatakan kalau kata Dokter Joonmi ada benar nya. Dia jauh lebih tahu tentang hal itu dariku. Dia jauh lebih berilmu dariku, pastinya selama dia menajdi spesialis neurologi dia belum menemukan orang yang menemukan penyembuh Spinocerebellar Ataxia.
Aku menenggelamkan kepalaku frustasi.

“Kecepatan perkembangan penyakit yang di derita pasien tergolong medium. Sebaiknya pelaksanaan terapi di lakukan secepat mungkin”.

Arrgh, kenapa harus Eonni? Dia baru berusia 19 tahun bulan Mei kemarin ! Prestasinya juga banyak, sampai sampai aku tidak bisa menghitungnya. Ia baru saja masuk Universitas paling prestisius di Seoul ! Hidupnya baru berjalan kurang dari seperlima abad dan dia sudah mendapatkan sebuah hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya? Kenapa?

“Minhee, kau baik baik saja?”. Aku mendengar Kyuhyun berkata padaku, namun aku masih menenggelamkan kepalaku sendiri di pangkuanku. Aku menggeleng.

Ya Tuhan, aku ingin menangis, tapi apa gunanya aku menangis?

“Jangan tahan tangismu”.

Aku mengangkat kepalaku sendiri dan menatap Kyuhyun. “Apa gunanya aku menangis?”.

“Kalau itu akan membuatmu lebih baik…sebaiknya kau menangis”.

“Aku tidak pernah merasa lebih baik setelah menangis”.
Perlahan Kyuhyun mengulurkan tangannya dan mengelus kepalaku berkali-kali. “Kau ini, sudah tau sedang sedih malah masih keras kepala”.

Aku terdiam, menatap rerumputan di bawah kakiku dengan pandangan kosong. Perlahan lahan air mataku turun dari setiap sudut mataku, membasahi pipiku dan akhirnya jatuh  ke tanah. Aku menangis tanpa bersuara. Aku tidak ingin suasana hatiku malah merusak ketentraman orang lain. Urusan ku biarlah aku sendiri yang mengurus, yang lain tidak usah terlalu ikut campur.

“Katakan padaku..apa yang mengganjal di pikiranmu sekarang?”. Kyuhyun masih mengelus kepalaku, sementara aku juga masih meneteskan air mata.

“Aku….”. Otakku kehabisan kata-kata. Apa yang harus ku katakan? Yang sejujurnya? “Sulit menjelaskannya. Maaf”.
Kyuhyun tersenyum ke arahku, bukan senyum evil yang seperti biasanya, tapi kali ini sangat menenangkan. 

“Aku siap mendengarnya kapan pun kau mau”.

“Terimakasih”. Walaupun singkat, tapi aku benar benar tulus mengatakannya.

“Apa yang bisa membuatmu lebih baik?”.

Mati, mungkin. batinku. “Aku tidak tahu”. Sambil memilin milin ujung dress selutut ku, aku menghapus air mataku. Sudah cukup menangisnya, sekarang lebih baik mencari solusi untuk menenangkan diriku.

“Dalam keadaan apapun kau selalu keras kepala”, ujar Kyuhyun. “Aku pikir tidak baik untuk membuat dirimu sendiri tersiksa dengan segala kemandirianmu”.

“Dan kenapa tiba-tiba kau begitu peduli?”, kataku tanpa sempat berfikir dulu.

uasana pun kembali sunyi, dan tiba tiba perasaan bersalah masuk ke dalam hatiku. Semakin banyak lagi beban yang memberatkan pikiranku, semakin lemas aku rasanya.

“M..maaf”, kataku memulai pembicaraan lagi. “Aku..terlalu emosi. Maafkan aku”.

“Aku mengerti. Dan sebaiknya kau pulang saja, tenangkan dirimu”. Kyuhyun pun bangkit dari tempat kami duduk dan aku mengikutinya.

“Aku berusaha peduli denganmu”, ujar Kyuhyun saat kami sudah sampai di depan pagar rumahku. Aku menunduk, dan menyadari manusia di hadapanku ini tidak sepenuhnya buruk. Bahkan sebenarnya Kyuhyun itu baik, sangat baik malahan. Namun ia menutupinya dengan sifat sifat lain. Yang kadang membuatku geram.

“Pegang ucapanmu”, kataku singkat.

“Bukan hal yang sulit”, jawabnya. “Kalau kau sudah ingin bercerita, ceritakanlah. Aku tak akan memaksamu sekarang”.

“Ah, ne”, kataku seraya mengangguk. “Sampai jumpa, Kyu”. Aku pun berbalik dan berjalan menuju rumahku.

“Minhee”, panggil Kyuhyun. Aku memalingkan wajahku ke arahnya. Namun Kyuhyun malah terdiam dan tatapannya terpaku pada ku.

“Ada apa?”.

“Tidak jadi. Kembali lah”. Aku melihatnya sebentar dan menghela nafas, kemudian berbalik lagi ke rumahku.

Dengan lemas aku membuka pintu rumahku yang lebar dan menutupnya kembali saat aku sudah sampai di dalam. Aku ingin tidur, ingin melupakan semuanya secara sementara. Semua fakta yang baru aku terima memberatkan kepalaku, membuat aku merasa lelah tanpa sebab. Dan, untungnya, di saat semua orang lebih peduli dengan apa yang akan ia makan hari ini, aku masih mempunyai seseorang yang peduli padaku dan 

mau membantuku.

Siapa lagi kalau bukan tetanggaku, si evil itu.

Aku melihat pintu kamarku terbuka, dan jantungku langsung berdebar lebih kencang. Astaga, aku menyadari kecerobohan ku sendiri. Jangan sampai ada yang melihat….

“Minhee? Ini apa?”.

Doaku tidak terkabul.


Eunji eonni memegang sebuah kertas putih dengan logo rumah sakit di kop nya, dan aku membelalakkan mataku. Tidak mungkin…. 





To Be Continued


Hehe maaf ya lama nge postnya. Aku lg sibuk sama ujian sekarang, maklumlah, anak kelas 9. Ditambah pula flashdisk aku rusak T_T ini aja pake flashdisk temen ._. 


Maaf kalo masih mengecewakan ^^

Exams are waiting !


Hallo readers blog aku yang masih setia B-)

Hari ini tanggal berapa?

Ya, hari ini hari rabu, tanggal 29 Februari 2012.

29 Februari? 4 tahun sekali looh ~

Today I’m so lucky+happy hehehe.

Nilai T.O aku memuaskaaan banget. Sangat memuaskan dalam ukuran aku lah B-) Nilai rata-ratanya 8,73. Peringkat 2 di kelas, Peringkat 5 di sekolah, dan peringkat 15 sekota Padang :’D Alhamdulillah ya sesuatu. 
Walaupun begitu, banyak yang lebih hebat dari aku, jadi aku belum seberapa lah dibanding yang lebih hebat itu~

Hari ini hujan deras banget. Sampai banjir. Gak terlalu parah sih cuma….membuat basah. (Trus apalagi kalo bukan membuat basah? Terbakar?)

Kok jadi curhat gini ya? -_-

Oh ya, aku capek jadi anak kelas 9. (Nah loh curhat lagi-_-) Setiap hari di bebani dengan kata-kata Ujian Nasional. Belum lagi hari Senin depan (5 Maret) Ujian Sekolah ! Woy ! Ujian sekolah ! 10 Mata pelajaran termasuk pelajaran UN ! Gila ! Coba lo semua bayangin deh ! Pelajaran dari kelas satu sampe kelas tiga, 10 mata pelajaran pula ! (kenapa jadi emosi._.)

“Nak, ibu tahu kamu capek, tiap hari belajar terus. Tapi cobalah kamu pikir, kamu capek untuk saat ini aja, untuk menuju Ujian saja. Setelah Ujian, terserahlah kamu mau ngapain, karna udah lepas semua tanggung jawab di SMP. Jadi makanya, gak apa-apalah kalian capek capek dulu belajar. Bayangkan nilai UN kamu di Ijazah nanti ada 9 atau 10, pasti terbayar semua rasa capek kalian selama ini” –Bu Erni, Guru Bahasa Indonesia.

“Jangan meremehkan soal yang mudah, justru itu bisa jadi penyebab utama kamu ‘jatuh’. Bayangkan aja, kalau ada batu besar pasti kamu menghindar kan? Tapi coba kalau batu kecil, kamu mengabaikan keberadaannya, tapi justru itu yang membuat kamu tersandung kan? Begitu juga soal nak, tidak boleh di anggap remeh” – Bu Erni, Guru Bahasa Indonesia.

“Kondisi mental kalian 60% mempengaruhi kesiapan ujian kalian. Jadi tanamkan rasa percaya diri kalian setelah kalian belajar dengan sungguh-sungguh, pasti kalian bisa” –Bu Jun, Guru Biologi.

“Mengkonsumsi 100 gram cokelat bisa meningkatkan konsentrasi kalian sampai 10 jam. Dan juga, bagi yang mau belajar, lebih baik kalian tidur dulu selama 6 jam, baru bangun untuk belajar. Daya serap otak yang terbaik adalah saat jam 3 subuh. Jadi jangan menghafal sampai tengah malam, kurang efektif” –Bu Jun, Guru Biologi.

“Belajar itu perlu sekali buat menghadapi UN. Tapi jangan kelewat di forsir, yang baik adalah mencicil pelajaran dari jauh jauh hari. Dan dalam belajar juga harus ada selingan (intermezzo) untuk menyegarkan otak. Hal hal kecil aja cukup, misalnya denger lagu atau menggambar. Karena otak juga sama seperti komputer. Tidak baik dipakai terus menerus” –Nokia Putri, siswa SMPN 1 Padang kelas 9E.

Ehm, agak melantur yah._. But that’s the one thing in my mind now. Honestly.
Bye-bye ! ^^

Sabtu, 04 Februari 2012

[Fanfiction] Take Me With You [Part 2/?]

Buat amalia eonni, maaf ya aku lama nge post ff nya. Sekarang aku udh kelas 9, bentar lagi mau UN jadi makin banyak kesibukannya :( Tapi mudah2an eonni puas sama ff ini. Langsung aja yah..


Eunji POV 

"Gomawo untuk hari ini”, ujarku sambil tersenyum. “Sampai ketemu—“

“Tunggu, Eunji”, potongnya. “Apa kau merasa senang?”.

“Tentu saja aku merasa senang”, jawabku.

“Maksudku, apa kau merasa senang menghabiskan waktu denganku?”.

“Pastinya”, kataku mantap. “Kenapa?”.

“Apa kau ingin terus seperti ini?”.

“Kalau iya aku juga sama senangnya denganmu. Kalau tidak…”“Kau mau bicara apa sih?”, ujarku, tidak tahu kemana arah pembicaraannya.

Ia menghela nafas habis-habis dan menatapku tepat di bola mataku. Aku merasa gugup tapi tidak mampu juga untuk melihat ke arah lain. Kemudian ia tersenyum sambil meraih salah satu tanganku dan menggenggamnya.

“Eunji-ah, saranghae”

“A..a..apa?”.

“Eunji-ah, saranghae. Apa masih kurang jelas?”.

“M..maksud..mu?”.

“Aku mencintaimu”.

Jiwaku seperti melayang dari ragaku, mendengar kata-kata tadi. Aku meragukan kalau kata kata tadi benar benar keluar dari mulutnya. Aku mencintaimu…kata kata itu sudah pernah diucapkan beberapa namja kepadaku tapi…baru kali ini aku merasa akan melayang.

“Kau sungguh-sungguh?”. Ia mengangguk pelan.

“Would you be my girlfriend?”, katanya. Aku hampir melongo mendengar perkataannya. Dia serius?

“Kau.. serius?”.

“Sekalipun aku mabuk aku tidak akan mengucapkan kalimat itu sembarangan”. Aku tersenyum dan sedikit menunduk, memandang jalan di bawah kakiku.

“Aku menerimanya jika kau mengucapkan ‘Jung Eunji, saranghae’ sebanyak seratus kali”, ujarku dengan ekspresi serius.

“Baiklah, itu hanya hal kecil.”, katanya santai. “Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji saranghae. Jung Eunji…”.

“Stop-stop”, kataku menghentikannya. “Kau melakukannnya atau tidak pun aku tetap menerimamu. Jangan ambil serius perkataanku tadi. Aku hanya bercanda, untuk membuktikan kesungguhanmu”.

Ia tertawa kecil bersamaku. Donghae pun meraih punggungku dengan tangan nya dan mendekatkannya ke dirinya sendiri. Ia memelukku. Erat.

“Saranghae”, ujarnya sambil melepaskan pelukan kami. Aku tersenyum dan sedikit tersipu. Aku punya seorang namjachingu !

“Me too”, balasku.

“Masuklah, Eunji. Sudah hampir jam sembilan. Orangtuamu pasti cemas”, usul Donghae.

“M..mereka sedang pergi keluar kota”, balasku sedikit  tergagap. “Terima kasih banyak untuk hari ini, Donghae”.

“Sama-sama”, ujarnya. “Aku mau memastikan sekali lagi. Kau benar benar merasa senang?”. Aku mengangguk.

“Kau serius dan sungguh sungguh memaknainya?”.

“Jangan meniru kata-kataku !”, ujarku sambil sedikit tertawa. “Tentu saja. Aku heran kenapa kau bisa mempunyai perasaan yang sama denganku”.

Ia tersenyum dan mengacak acak rambutku. “Dasar, Jung Eunji”, katanya. “By the way sekarang sudah malam. Masuklah ke rumahmu”.

“Kau juga, pulanglah. Jangan sampai kau terlalu malam saat tiba di rumah”, ujarku.

“Baiklah, Tuan Putri”, kata Donghae dan aku tersenyum kecil. “Sampai jumpa”.

“Ne. Sampai jumpa. Hati-hati di jalan ! Aku tidak mau kau terluka”, kataku sambil melambaikan tangan. 

Donghae pun tersenyum dan makin lama siluetnya makin menghilang ditelan jalan raya yang ramai.

Aku masuk ke dalam rumah dengan senyum yang masih mengembang di wajahku. Begini ya rasanya bahagia kalau cinta kita terbalas? Aku baru tahu kali ini.

Benar, aku baru tahu.

Aku memandang ke seluruh penjuru rumahku yang luas dan sepi itu. Ah, Appa belum pulang. Padahal sekarang hari Sabtu. Biasanya Appa pulang sekitar jam 7 dan langsung memasakkan makanan untuk kami. Tapi sekarang beliau belum pulang. Aku pun berjalan menuju kamar adikku di lantai satu dan membuka pintunya.

“Minhee ! Kau tau apa yang—“

“Aku sudah lihat tadi”, ujarnya, yang membuatku sedikit pucat.

“Melihat apa…?”.

“Melihat kau dengan Donghae di depan rumah”, katanya santai, sambil menekan-nekan layar tablet di hadapannya, entah apa yang dia lihat.

“K..kau melihatnya?”, tanya ku takut-takut. Minhee hanya mengangguk.

Aku menghembuskan nafas berat. “Jangan bilang ke siapa-siapa. Biarkan orang tahu sendiri”.

“Namjachingu mu itu kelihatannya baik”, kata Minhee berpendapat.

“Yeah, memang baik”, balasku sambil duduk di tepi ranjangnya yang dilapisi seprai warna cokelat muda. “Dan handsome juga”.

Minhee hanya tertawa kecil mendengar kalimat terakhirku. “Aku lapar. Bisa kita ke dapur sekarang?”.
Aku berdiri dan mengangguk kepada Minhee yang menaruh tabletnya di atas ranjang. “Yah, ayo kita buat sesuatu seperti yang Appa buat”.

Bakat masak memasak Appa diwariskan ke adikku, bukan aku. Meskipun aku juga bisa memasak tapi tidak sehebat adikku yang introvert dan kutubuku itu. Yah, bisa dibilang Minhee adalah fotokopi dari Appa. Mulai dari golongan darah nya yang sama-sama A, sama-sama berbakat memasak, sama sama memiliki lesung pipi yang dalam, alis yang tebal, dan sama sama kutubuku, dan berbagai macam sifat lainnya baik secara terlihat maupun tidak terlihat.

“Bagaimana dengan ini?”, kata Minhee sambil memegang sebuah wadah berisi udang beku dengan es batu di sekitarnya.

“Terserahmu”, kataku. “Berikan aku sesuatu yang enak, maka aku akan memakannya”.

Ia menghela nafas dan berjalan menuju lemari makanan, untuk mengambil beberapa bahan lainnya. Aku naik ke lantai dua, tepatnya menuju kamarku, untuk berganti baju. Hari ini melelahkan, sekaligus menyenangkan. Aku yakin semuanya berjalan seimbang, karena dominan pada suatu hal itu tidak baik, begitu pula sebaliknya.

Seperti hidupku sekarang.

~***~

Minhee POV

Musim gugur telah datang.

Ini adalah musim favoritku dari keempat musim lainnya. Tiap hari aku bisa melihat daun daun berwarna kecoklatan itu gugur dari tempat asal dia hidup, bertaburan di jalan raya. Setiap tahun aku selalu mengabadikan momen momen musim gugur dan menempelkan foto fotonya di sebuah buku. Entah kenapa aku lebih terpesona pada musim gugur padahal musim semi juga tak kalah indahnya.

Sore ini aku berniat untuk berjalan jalan ke luar rumah. Mengirup udara di luar rumah dengan penuh perasaan pada hari pertama musim gugur adalah kebiasaanku entah sejak kapan. Aku pun meninggalkan kamarku dan berjalan melintasi ruang tengah dan ruang tamu.

Aku berjalan di tepi jalan raya kompleks perumahan yang cukup lebar ini. Udara cukup dingin. Aku makin merapatkan jaket tebal biru muda ku dan tersenyum. Sehelai daun kering mendarat di rambutku dan aku menjatuhkannya ke jalan. Banyak daun daun lain yang bernasib sama seperti yang tadi aku jatuhkan.

Kaki ini pun membawa ku melangkah ke arah sebuah taman yang terletak sekitar lima ratus meter dari rumahku. Taman itu kecil, sederhana, tapi tertata rapi. Ada air mancur kecil di tengah tengah taman itu. Bangku bangku taman yang terbuat dari kayu pun tersusun rapi. Lampu taman yang kecil tapi bisa memberikan sinar yang sangat terang pun terletak di setiap sudut taman dan di sebelah bangku taman. Pepohonan yang rindang dan deretan rumput yang dibentuk dengan rapi mengelilingi taman ini, membuat suasananya asri. Beberapa pedagang makanan ringan juga ada disini, tapi tentunya tidak mengotori lingkungan taman. Aku senang dengan keadaan taman yang  seperti ini.

Cukup banyak orang yang menghabiskan sore harinya disini. Beberapa orangtua terlihat sedang membawa anaknya jalan-jalan di sini. Aku menelan ludah dan mengalihkan pandangan. Sampai kapan aku harus merasa seperti ini? Merasa sesak saat melihat orangtua dengan anaknya yang bahagia, bisa bercanda bersama dan membandingkan dengan keluargaku?

Walaupun kedua orangtuaku tidak berperang hebat, aku sebagai anak tetap merasa sedih. Kecewa.
Aku melupakan topik itu dan duduk di sebuah kursi taman. Dengan memandangi taman ini saja sudah membuat pikiran ku segar kembali. Angin bertiup sepoi sepoi, membelai rambut cokelatku dan membuatnya sedikit berantakan.

Tiba tiba aku merasa kakiku disentuh oleh sesuatu yang…berbulu? Dan juga hangat?

“KYAA !”.

Aku hampir melompat saat mengetahui seekor anak kucing sedang bersandar menempel di kakiku. Aku pun turun dari kursi dan berjongkok di sebelah kucing itu. Warna kucing itu abu-abu dengan sedikit belang hitam di ekornya. Ukurannya yang mini membuatku gemas. Aku mengelus kepalanya yang lembut dan ia mengeong.

“Kau lapar?”, tanyaku. Padahal, jelas jelas dia tidak akan berkata iya atau tidak. Anak kucing itu mengeong.

“Itu ku anggap sebagai ya”, tambahku. Aku pun menggendongnya dan berjalan menuju penjual sosis di dekat sebuah pohon. Mungkin ini bisa membantu, pikirku.

“Ahjussi, sosisnya dua”, kataku pada si penjual. Ia pun menaruh dua tusuk sosis di atas pan dan membolak balikannya. Sementara itu aku sibuk mengelus elus bulu kucing yang lembut itu. Ia malah mengeong dan aku sedikit tersenyum. Aku berpikir, apa dia memiliki majikan? Kalau iya, jahat sekali majikannya, membiarkannya lepas dan tersesat disini.

“Gomawo”, kataku sambil menerima sebuah plastik dari ahjussi tersebut. Aku pun berjalan ke sebuah bangku taman terdekat dan duduk disana, bersama kucing tadi. Ia duduk tenang, hanya sesekali mengeong tapi tidak berkeliaran.

“Ini”, ujarku sambil memberikan sebuah sosis kepadanya. Aku memegang tusuknya dan menyodorkannya ke kucing tanpa nama itu. Ia merebutnya dan segera memakannya dengan lahap. Aku sedikit tertawa melihat tingkahnya yang rakus itu.

“Aigo~ Kau tidak pernah diberi makan oleh majikanmu ya?”, tanyaku yang membuatnya mengeong. Setelah beberapa menit, sebuah sosis habis di lahapnya sendiri. Aku yang sedang memakan sosis pun mendengarnya mengeong, sepertinya artinya sama dengan ‘aku lapar, aku butuh makan lagi’.

“Baiklah, baiklah”, ujarku sambil menyerahkan sosis yang baru ku makan setengah itu padanya. Kucing abu abu itu segera memakannya, dan aku hanya memandangnya sambil tersenyum. Kasihan, pasti dai sangat lapar.

“Cloud !”, pekik seseorang sambil berlutut di samping bangku taman dan mengelus elus kucing abu-abu itu. 

“Untung saja aku menemukanmu”. Namja itu pun melihat ke arah ku dan aku merasa familiar dengan wajahnya.

Dia kan yang di toko buku waktu itu….

“KAU?!?”, kata kami bersamaan. Aku segera berdiri dan berjalan menjauh. Tapi kucing itu…Aku melirik lagi ke arah kucing yang sedang mengeong ngeong di atas tangan namja itu.

“A..aku..aku..hm..terimakasih sudah menemukan kucing ku”, ujar namja itu. Ia tersenyum ke arahku dan aku balas tersenyum. “Terimakasih juga karna sudah memberinya makan. Darimana kau tahu kalau sosis makanan favoritnya?”.

Eh?”, kataku tidak percaya. “Yang benar? Kalau begitu….”. Aku tidak melanjutkan kata-kata.

“Cho Kyuhyun”, ujarnya sambil mengulurkan tangan padaku. Aku menatapnya sebentar dan menjabat tangannya.

“Jung Minhee”, balasku. “Senang berkenalan denganmu”. Ia hanya tersenyum singkat ke arahku.

“Ayo kita berjalan-jalan dulu di sekitar sini”, ajaknya. Aku pun berjalan ke sebelahnya dan kucing itu terus mengeong dan melihat ke arahku.

“Sepertinya dia menyukaimu”, kata Kyuhyun dan memberikan kucing itu kepadaku. Aku menerimanya dan mengelus elus punggungnya yang ditutupi oleh bulu halus berwarna abu-abu. Memang ini bukan kucing mahal, tapi terawat.

“Siapa nama kucing ini?”.

“Cloud”, jawab Kyuhyun singkat. “Seperti namanya, kucing ini berwarna seperti awan yang akan menandakan hujan”.

“Aneh”, kataku. “Apa tidak ada yang lebih kreatif…”.

“Huh”, ujarnya seperti mengejek. “Kayak kau kreatif saja”.

Aku pun terdiam dan memandangi rumah rumah yang berjejer rapi dengan berbagai macam warna. Umumnya rumah disini dilindungi pagar besi, tapi ada juga yang hanya dipagari dengan rumput rumput dan bunga. Aah, aku suka tinggal disini…

“Apa kau tinggal di sini?”, kataku membuka pembicaraan.

“Umm…ya. Aku baru pindah ke sini kemarin”, jawabnya. Aku menatap wajahnya yang menyiratkan kesan dingin itu. Sepertinya dia masih menyebalkan seperti beberapa minggu yang lalu…

“Aku juga tinggal disini”, ujarku pelan.

“Benarkah?”. Aku mengangguk sambil sedikit tersenyum.

“Perumahan ini benar benar asri dan indah”, ujarnya memberi pendapat. “Sebelum pindah ke sini aku tinggal di perumahan yang warga nya tidak mau menjaga kebersihan. Ya..kau tahu sendiri lah, bagaimana keadaannya”.

“Oh ya?”, kataku. “Disini peraturan mengenai kebersihan memang benar benar di jalankan. Yang tidak menjalankan dikenai denda. Tapi beginilah hasilnya, setimpal”.

Ia mengangguk angguk mengerti. Kami masih terus berjalan. Sekarang kami berbelok ke kiri, ke arah rumahku.

“Minhee awas !!”, pekik Kyuhyun sambil melingkarkan tangannya di punggungku dan menarikku ke arahnya, sampai kami berdua hampir terjatuh. Aku tersadar dari lamunanku dan langsung menutup telinga saat bunyi klakson berdesibel tinggi itu menusuk telingaku. Mobil itu berjalan berlawanan arah dengan kami, dan aku mencibir ke arah mobil hitam itu saat ia menjauh.

“Hampir….”, ujarku. Aku menatap tangannya yang masih menyentuh lenganku, dan dengan cepat ia melepaskannya. “Gomawo atas……pertolonganmu”.

“Cheonman. Lain kali jangan melamun sambil berjalan. Atau jangan berjalan sambil melamun”, katanya.

“Iya iya”,  kataku sedikit sebal.

“Kau mau kemana?”, tanyanya.

“Aku…tentu saja pulang ke rumah”, ujarku.

“Ternyata rumah kita searah”, tambahnya. Aku langsung meliriknya, dan dia balas melirikku.

“Sepertinya akan menjadi hal yang menyenangkan sekaligus…bencana”, ujarku dengan kata terakhir yang sedikit dipelankan.

Kyuhyun mengangkat bahu, tidak mau ambil pusing dengan perkataanku. “Yah, terserahmu lah”.
Aku tersenyum lebar sambil mengelus elus punggung Cloud. “Kucing yang lucu”, ujarku. Cloud mengeong seolah setuju dengan perkataanku.

“Aku menemukannya di pinggir jalan waktu itu”, terang Kyuhyun. “Di dalam sebuah kardus. Karena kasihan aku pelihara saja dia”.

“Tapi meskipun kucing jalanan, bulunya halus”, ujarku.

“Siapa dulu yang merawatnya”, timpalnya yang membuatku memajukan bibir.

“Kau masih bersekolah?”, tanyaku. It looks like a stupid question.

“Pabo, tentu saja iya”, jawabnya dengan sedikit penekanan. “Kau sendiri? Apa kau sudah bersekolah? 
Dengan tinggi mu yang seperti anak TK ini…”

“Yak !! Jangan singgung-singgung tinggi badanku !”, kataku. “Sekarang aku kelas 11, puas?”.

“Sama”, ujarnya singkat. “Aku baru mulai sekolah minggu depan. Yah….derita anak pindahan..”.

“Dimana sekolah baru mu?”.

“Aku lupa namanya, tapi sekolah itu terletak di depan sebuah bank besar”, katanya.

“Aku juga bersekolah disana !”, ujarku. “Gangnam High School. Ingat itu”.

“Aku tidak punya banyak waktu untuk sekedar mengingatnya”, katanya dengan gaya santai yang membuatku sedikit kesal. “Aku sudah bosan terus terusan pindah sekolah”.

Aku mengangguk angguk dan berhenti di depan sebuah rumah bertingkat dua bergaya minimalis, dengan 
warna merah, abu abu, biru, dan hitam yang mendominasinya. “Ini rumahku”, ujarku. “Rumahmu dimana?”.

“Ini rumahmu?”, ulangnya. Ia pun menoleh ke seberang rumahku, tepatnya ke rumah yang berada di sebelah rumah seberang rumahku. Sepertinya itu rumahnya. “Mengerikan..”.

“Justru harusnya aku yang bilang begitu !”, ujarku. “Ini kucingmu”. Aku menyerahkan Cloud ke tangan Kyuhyun dan kucing itu mengeong.

“Aneh, dia tidak mau berpisah denganmu”, katanya.

“Apakah aku begitu menarik?”, ujarku langsung, tanpa berpikir dulu.
Kyuhyun menampakkan ekspresi aneh di wajahnya. “Tidak akan pernah”. 3 kata itu membuatku refleks memukul lengannya, namun ia hanya tertawa kecil.

“Huh, yasudah”, ujarku. “Sampai jumpa lagi Kyu”.

“Sampai jumpa juga Minhee”, katanya. Kyuhyun tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan, sementara aku, yang berada di balik pagar balas tersenyum. Perlahan ia menjauh, dan masuk ke sebuah rumah yang luas dan asri di seberang rumah di sebelahku.

~***~

Aku membuka lokerku yang kecil dan terbuat dari besi itu dengan malas, kemudian mengambil sebuah buku ekonomi dan matematika yang cukup berat. Pelajaran hari ini sangat membosankan. Sepanjang pelajaran tadi aku terus menguap hingga tertidur pada 20 menit menjelang istirahat. Sekarang, waktu istirahat makan siang selama 1 jam akan aku manfaatkan dengan baik. Perpustakaan adalah tempat yang tepat untukku.
Setelah mengambil buku aku menutup pintu loker. Terkejut rasanya saat melihat seseorang tengah berdiri di depanku, hingga aku nyaris menjatuhkan tumpukan bukuku ke lantai.

“K..kyuhyun…”, kataku terkejut.Aish, kenapa aku jadi terkejut begini? Kan cuma Kyuhyun~

“Oh, hai”, jawabnya.

“Masih kaku seperti sebelumnya”, ujarku sambil mengunci pintu loker dingin itu. Aku pun bersandar di loker sambil memperhatikannya.

Ia membuka lokernya tanpa menghiraukanku. Kemudian setumpuk amplop pun tumpah ke koridor tempat kami berdiri sekarang, dan aku menganga. Bukan hanya amplop, melainkan cokelat juga termasuk.

“Kau bisa membuat para yeoja itu berhenti mengirimi benda benda seperti inI?”, ujarnya. Aku memajukan bibir dan mengangkat bahu.

“Entahlah”, kataku malas. Ia memasukkan kembali semua benda benda itu tanpa melihatnya sedikitpun. 

“Memacari salah satu diantara mereka?”.

“Huh, apa gunanya”, ujar Kyuhyun. Ia mengambil buku Fisika dan beberapa buku tulis kemudian melirikku dari atas ke bawah.

“Kenapa kau masih bertahan—“

“Kyuhyun sunbae”, ujar seorang yeoja yang tidak ku kenal. Yeoja itu melirikku sekilas, kemudian memberikan sebuah amplop kepada Kyuhyun.

“Apa ini?”, tanya Kyuhyun.

“Sunbae tidak akan mengetahuinya kalau tidak membukanya”, kata yeoja itu sambil tersenyum. “Gomawo sunbae, aku rasa hanya itu saja”.

“Ne, cheonman”, ujar Kyuhyun sambil memasang ekspresi datar. Yeoja itu memandangku dengan tatapan sinis sejenak dan kemudian ia berlalu. Aku mencibir saat dia berbalik.

“Apa-apaan dia”, kataku. “Menganggapku…...saingannya?”.

“Mungkin”, kata Kyuhyun. Ia memasukkan amplop tadi ke lokernya tanpa membacanya dahulu. Tiba tiba gerakannya terhenti dan ia menatapku seperti baru saja memenangkan undian 10 juta won. Aku balas menatapnya bingung.

“Aku tahu !!”, serunya.

“Tahu apa?”.

“Sekarang kau adalah yeojachingu ku”.

“MWO???!”.

To Be Continued

RCL appreciated. Thank youu~~~~

Sabtu, 28 Januari 2012

[Fanfiction] Take Me With You (part 1/?)

Hai cemuaaah !! *kiss* *plak


FF request yg sebelumnya aku revisi ya, sekarang aku dapet ide yg lebih gimana gitu. Sedikit perubahan cast hehe. Yaudah cekidot aja ya :P





Eunji POV

Kecepatan berlariku semakin ku tambah, takut aku akan tertinggal. Sedikit lagi aku akan sampai di tempat bersekolah yang ku impi-impikan sejak dulu. Hari ini adalah pengumuman mengenai siapa-siapa saja yang beruntung untuk bersekolah di Universitas paling prestisius di Korea Selatan, Seoul Daehakkyo. Yang biasa dikenal orang sebagai Seouldae atau Seoul National University. Aku memandang gerbang calon Universitasku ini sekilas, lalu berlari lagi. Satu menit lagi, tepatnya jam 10 nanti, kertas berisi nama-nama siswa beruntung itu akan bisa dilihat. Mengingat hal itu aku makin bersemangat dan mempercepat lariku. Aku harus bisa melihat pengumuman itu, secepat yang aku bisa.

Aku pun sampai di depan papan pengumuman. Puluhan orang ada di depannya, mencari apakah nama mereka termasuk atau tidak. Aku menerobos kerumunan orang itu—yang pastinya bisa kulakukan dengan mudah oleh tubuh kecilku ini—tanpa memedulikan desisan orang-orang yang ku terobos. Ku lihat kertas itu dari bawah, bukannya dari atas, untuk menghadapi resiko terburuk.

Semakin lama aku semakin terdesak tapi aku tak kunjung menemukan namaku. Dengan cepat aku menelusuri setiap nama dan mencari inisial namaku. Akhirnya, aku menemukannya !

Jung Eunji : Approved. Score : 97

Aku melihat namaku lama-lama di kertas itu, tidak percaya dengan tulisan yang tertera disana. Aku kembali memastikan, apakah itu benar namaku atau tidak.
Ternyata memang benar namaku. Ku rasa tidak ada nama Jung Eunji lainnya disini. Aku melirik angka yang menunjukkan peringkat di sebelah kiri namaku. Angka setelah 2 itu tertera dengan jelas, membuatku tidak tahu harus berkata apa. Tubuhku serasa di terbangkan ke langit seperti layang layang.

“AKU LULUS !!!!!!”

Aku kembali menerobos kerumunan para calon mahasiswa itu sekali lagi. Rasa bahagiaku meluap-luap, membumbung tinggi menembus ragaku. Sekarang, kata “Jung Eunji, Mahasiswi Arsitektur Seouldae” bukan lagi sebuah mimpi. Ini adalah fakta yang benar-benar sulit dan hampir tidak aku percayai.

Aku mengambil ponsel putih dari saku celanaku dan menekan tombol 3, tombol speed dial untuk menghubungi adikku, Minhee. Kabar baik harus cepat-cepat disampaikan, sebelum menjadi kabar buruk. Aku pun menggenggam benda seukuran telapak tangan itu dan menempelkannya di telingaku. Dengan senyuman yang masih terulas di wajahku, aku menunggu adikku mengangkat telfonnya.

“Yeoboss—“

“MINHEE, AKU LULUS !! NILAIKU 97 !! AKU PERINGKAT 3 !!!”, kataku bahkan sebelum dia mengatakan apa-apa. Aku berteriak teriak kegirangan di telfon. Mungkin adikku sudah menutup telinganya sekarang karena teriakan ratusan desibel yang bisa ku keluarkan sekali nya aku bahagia.

“YAAA EUNJI !! Aku tahu kau pasti lulus tapi jangan membuat kerusakan dini pada gendang telingaku !”, kata adikku tak mau kalah kerasnya. “Apa kata Eonni tadi? 97? 3? Wow, Chukkae Eonni. Doakan saja dua tahun lagi aku akan jadi mahasiswi di sana”.

“Yeah, semoga”, kataku sambil berjalan perlahan. “Lalu apa kau ada rencana untuk pergi ke suatu tempat hari ini?”.

“Umm…” Aku tahu sekarang Minhee pasti sedang mengingat-ingat jadwalnya yang tersusun begitu rapi di buku agenda biru-putihnya. “Sepertinya tidak”.

“Oke, aku tunggu kau di Gilson seperti biasa”.

“Gilson?”.

“Restoran Jepang favori kita, masa kau lupa?”.

“Oh iya, aku ingat”, jawab adikku.

“Secepat—“

BRAKK

Aku menabrak seseorang—atau aku yang menabraknya?—hingga aku nyaris terjengkang. Ku rasakan ponselku yang tadi ada di tanganku berpindah tempat ke jalanan beraspal di bawah kakiku.

“P..ponselku…” Aku sedikit menunduk dan memandang ponsel ku yang layarnya retak seperempat bagian dengan warna putih dan pelangi sepenuhnya itu dengan nanar dan kecewa. Kemudian aku ambil benda putih yang sudah tidak menyala lagi itu dengan sedih, marah, dan kesal. Aku berjongkok dan mengelus-elus layarnya yang retak sambil melihat casing  putihnya yang tergores. Logo apple yang terdapat disana tergores, dan aku semakin menatapnya sedih. Ponsel pemberian Appa-ku saat awal tahun ini sudah tak berbentuk seperti semula lagi. Aku menatap orang di depanku, yang membuat wujud ponsel ini jadi hancur.

“Kau…”, ujarku sambil menunjuknya. “Kau lihat apa yang kau perbuat?”, tanyaku sinis kemudian berdiri.

“Mianhae, jeongmal mianhaeyo agasshi. Aku benar benar tidak sengaja, agasshi. Akan ku ganti”, kata namja itu sambil merogoh dompetnya. Kemudian ia mencari cari sesuatu dan aku yang tidak berniat lagi menunggunya, meninggalkannya.

“Agasshi, tunggu.  Mungkin kau bisa memakai ini”, ujarnya sambil menarik lenganku. Ia menyerahkan sebuah kartu ATM dan aku memandangnya heran.

“Kartu ATM?”, tanyaku. “Kau kira semua cukup untuk mengganti ponselku? Bagaimana dengan pesan singkat yang ada disana? Bagaimana dengan kontaknya? Bagaimana dengan—“

“Ambil saja”, katanya sambil tersenyum. “Mungkin uangku tidak cukup untuk menggantinya, tapi setidaknya aku sudah berniat untuk mengganti”.

Aku terpana dan memandangi kartu kecil yang kini sudah terdapat di tanganku. Hatiku sibuk menimbang nimbang, antara ingin menerimanya dengan tidak. Kalau tidak aku terima…aku tidak punya cukup banyak uang sekarang. Maksudku, aku memang selalu punya cadangan uang, tapi tidak cukup untuk memperbaiki iPhone putih ini.

“Kau yakin?”

“Pasti”, ujarnya. Aku mengangkat bahu dan berjalan lagi, seraya meningat ingat ATM terdekat yang ada di sekitar sini. Ternyata namja itu mengikutiku dan aku menghela nafas.

“Kenapa kau mengikutiku?”.

“Aku pemilik kartu ATM itu, jadi aku harus bertanggung jawab atas segalanya”, kata nya. Cara bicara namja ini mirip dengan cara bicara adikku yang sedikit konsevatif itu.

Tidak buruk, juga tidak baik.

~***~

“Kamsahamnida”, kataku saat keluar dari ATM. Aku menyerahkan kartu itu kembali kepadanya dan memasukkan uang 100.000 won yang baru ku ambil ke dalam tas ku.

“Cheonmanyo”, balasnya. “Berapa yang kau ambil?”.

“Se….ratus ribu”, ujarku takut-takut.

“Oh, kenapa kau tidak ambil lebih?”.

Mwo? Enteng sekali dia berkata seperti itu.

“A…aniyo. Tidak usah, sudah cukup kok”, balasku. “Jeongmal kamsahamnida…err..siapa..siapa namamu?”.

“Lee Donghae”, katanya sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Jung Eunji”, balasku.

“Jung Eunji?”, tanyanya memastikan.

“Iya, memangnya kenapa?”.

“Lulus ke Jurusan Arsitektur dengan peringkat ketiga kan?”.

“Ah itu…”, jawabku salah tingkah. “Kenapa kau tahu?”.
Namun ia hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku. “Sebulan lagi aku akan menjadi senior mu”

“Oh…begitu”, kataku. “Kalau begitu bagaimana kalau kita—“
MINHEE ! Astaga, aku baru ingat janjiku dengan adikku. Aku baru saja akan mengajak Donghae pergi kemana, tiba tiba aku ingat dengan Minhee. Jarak dari rumah ku ke Gilson cukup dekat, dan pasti adikku sudah menunggu disana. Dan Minhee paling tidak bisa bertoleransi dalam hal waktu.

“Maaf Donghae, aku lupa, aku ada janji dengan adikku !”, kataku sambil segera bergegas. “Sampai ketemu…uh, sebulan lagi?”, teriakku.

“Tunggu Eunji!”, serunya. Ia memberikan sebuah kertas berisi beberapa angka kepadaku.

“Hubungi aku kalau kau perlu sesuatu”, ujarnya. Aku menerima kertas itu dan memandanginya sejenak, kemudian memasukkannya dalam tasku.

“Ah, gomawo Donghae-ssi”, kataku. “Tapi aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa!”.

Ia melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. “Sampai jumpa, Eunji”.

Aku meneruskan berlari dan saat sudah jauh aku kembali melihat ke belakang. Ternyata Donghae sudah berjalan ke lain arah. Aku diam-diam tersenyum mengingat apa yang baru saja dia lakukan. Jarang sekali ada orang baik seperti dia.

Entah dia melihat senyuman ku atau tidak, aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku berhutang begitu besar padanya.

~***~

Minhee POV

Aku menelusuri setiap rak rak buku di sini sambil berusaha memutuskan buku mana yang akan aku beli. Di tanganku sudah ada 3 buah buku—2 buah novel fantasi dan satu buah kamus Bahasa Jepang setebal kasur—tapi aku belum juga puas, masih ingin membeli karya sastra lainnya. Kebanyakan anak-anak sekolah menengah sepertiku tidak menyukai hal-hal yang berbau imajinasi terlalu tinggi, melainkan novel novel remaja yang makin lama makin aneh saja isinya. Meskipun novel fantasi juga aneh, tapi tetap saja, novel fantasi adalah perwujudan dari imajinasi terlalu tinggi.

Sambil mengambil tas plastik tempat menaruh buku, pandanganku masih tertuju pada novel-novel yang ada di bagian fantasi. Setelah selesai menaruh buku ke dalam tas, aku segera berjalan menuju rak tersebut dan mengambil satu buah novel yang bahkan belum sempat ku baca judulnya, tapi tertarik dengan sampulnya. Di rak itu, novel itu hanya terdapat satu buah. Jadi aku segera mengambilnya.

Namun bersamaan saat aku mengambil buku itu, seseorang memegangnya juga. Dia seorang namja yang tidak ku kenal. Dari wajahnya saja aku sudah bisa menilai kalau dia sepertinya sangat unfriendly.

“Permisi, tapi aku duluan yang mendapat buku ini”, ujarku berusaha sopan.

“Kau duluan?”, kata namja yang kelihatannya beberapa tahun lebih tua dariku itu memastikan. “Jelas-jelas aku duluan yang mengambilnya”.

“Tapi kau menyentuhnya saat aku mengambil buku ini !”, kataku. Emosi ku sedikit naik saat berbicara dengannya.

“Aku yang mendapatkannya duluan, titik !”.

“Aku !”

“Aku !”

“Tidak ada, kau terlambat!”, ujarku sambil menarik buku itu dari tangannya. Tapi dia juga keras kepala, dia mempertahankan buku itu. Aku berusaha semakin keras menarik buku itu dari genggamannya dan tetap menjaga buku ini agar tidak rusak.

“Ish, apa urusanmu denganku?”, ujarku.

“Aku tidak peduli, aku yang pertama mendapatkannya !”.

“Percuma kau berdebat denganku, aku pasti yang pertama mendapatkannya !”.

“Dasar bocah, aku yang duluan!”.
Kehabisan kesabaran, aku menendang kakinya dan mengambil buku itu cepat cepat saat ia merintih kesakitan. Tanpa kusadari, ternyata ada beberapa orang yang sedang melihat aksi kami. Wajahku jadi memanas.

Tapi aku tidak menghiraukan itu, aku segera berlari ke kassa untuk membayar semuanya.

Untungnya, kassa tersebut sepi. Aku segera merogoh dompetku dan mengeluarkan uang lima puluh ribu won, saat kasir tersebut sedang men-scan harga buku ku. Dalam hati aku sudah tidak sabar, tapi aku berusaha tenang. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian lagi.

Saat si kasir tengah memasukkan buku terakhir ku ke dalam plastik, namja itu muncul sekitar 5 meter di kiri ku dengan tatapan kesal. Aku mencibir ke arahnya, dan menerima uang kembalian dengan puas. Siapa cepat dia dapat.

Aku berjalan menuruni tangga, dan namja itu masih juga mengikutiku. Aku berusaha berjalan dengan normal, seolah olah tidak tahu dengan fakta kalau namja itu sedang mengikutiku. Aku heran, kenapa dia tidak menunggu cetakan selanjutnya keluar saja? Atau dia juga bisa memesan buku itu di internet, tidak perlu susah susah merebut buku itu dariku.

“Bodoh, kenapa kau masih mengikutiku?”, ujarku pada namja itu.

“Aku sudah bilang, aku yang pertama mendapat buku itu ! Dasar bocah curang !”

“Terserah apa katamu, pokoknya aku sudah membayarnya dengan harga sembilan ribu lima ratus won dan berarti buku itu sepenuhnya milikku, titik !”.

Aku mendengus kesal dan meninggalkan toko buku itu. That boy has ruined my day. Aku berjalan ke tempat Eonni sekarang, di luar butik yang ada di sebelah toko buku.

“Sudah dapat bukunya?”, tanya Eunji eonni sambil memasukkan ponselnya yang baru di ambil dari tempat service beberapa hari yang lalu.

“Yah, sudah”, jawawbku singkat. Dia pun menyetop sebuah taksi dan kami berdua masuk ke dalamnya.

“Sepertinya ada yang berkeliaran di benakmu”, tebak Eunji eonni saat ia melihat aku hanya menatap plastik tempat buku buku ku berada dengan tatapan datar.

Aku mengangkat bahu dan mengalihkan pandangan keluar jendela. Kemudian ku lirik lagi Eonni ku yang sedang senyum senyum saat melihat ponselnya. Pasti namja yang menjatuhkan ponselnya beberapa minggu yang lalu itu telah merebut hati Eonni. Aku menghela nafas, merasa biasa saja dengan tingkah Eonni ku satu satunya itu.

Eunji eonni dan aku memiliki banyak perbedaan. Mungkin dari luar orang sudah bisa menyangka kalau kami bersaudara. Kami sama-sama memiliki iris mata berwarna hitam tanpa cela dan rambut cokelat tua yang warna nya sama persis. Bedanya, Eunji eonni adalah seorang yang modis, mengikuti perkembangan jaman, suka bersenang senang di luar rumah, pintar melukis, dan ekspresif. Kalau aku? Kebalikannya. Aku seorang yang terkesan bersikap sedikit apatis terhadap dunia, merasa memiliki dunia sendiri, kutubuku, suka mengungkapkan perasaan ku lewat tulisan, dan seorang computer addict. Aku juga tidak berpenampilan modis seperti Eunji eonni. Memang sih, aku tidak memakai kacamata baca yang tebal, tapi sebagai gantinya aku memakai contact lens. Dengan semua perbedaan antara aku dan Eunji eonni, aku tidak pernah mencoba untuk mengubah diriku. Aku adalah aku, selama aku bisa bertahan aku tidak akan berubah.

~***~

Eunji POV

Ini adalah hari ke tujuh ku menjadi mahasiswi.

Sungguh, aku sangat menyukai kehidupan di universitas. Disini para mahasiswa nya bersikap sangat menjunjung tinggi sopan santun. Tapi mereka juga ramah. Dalam beberapa hari saja aku sudah mendapatkan banyak teman. Yah, entahlah, mungkin karena ada sesuatu yang menarik dalam diriku. Oke, aku akui, tidak semua orang seberuntung aku. Siapa yang tidak ingin pintar matematika dan melukis? Siapa yeoja yang tak ingin wajahnya cantik tanpa make up atau operasi plastik? Siapa yang tidak ingin bisa keluar masuk butik ternama tiap minggu?

Aku merasa beruntung karenanya.

“Eunji, tunggu sebentar ya. Ada sesuatu yang ingin aku cari di perpustakaan”, ujar Sunyoung, teman sebangku ku. Aku mengangguk.

“Yasudah, aku tunggu di depan perpustakaan”, ujarku. Aku pun bersandar di dinding luar perpustakaan sambil memandangi orang orang yang lalu lalang. Ada beberapa orang yang menyapaku. Meski aku tidak tahu siapa nama mereka, aku juga tetap membalasnya. Kadang ada beberapa namja yang menegurku dan mengajakku pergi. Tapi semua aku tolak. Biarkan saja mereka menganggapku sombong. Aku bahkan tidak kenal dengan mereka.

Dari arah tangga, aku melihat Donghae Oppa yang sedang membawa buku buku tebal—yang kebanyakan berkaitan dengan bisnis—dan darahku mulai berdesir. Belakangan ini aku lebih dekat dengannya. Semenjak peristiwa saat dia menjatuhkan ponselku itu, kami jadi sering membicarakan hal-hal seputar sekolah dan teman-teman di sini. Terutama tentang penggemar rahasia kami yang selalu menyelipkan surat surat atau benda benda manis ke loker kami. Aku tertawa saat mengetahui dia juga sama denganku, mendapatkan surat surat dari anonym tiap hari di loker.

Ia pun menoleh ke arahku yang sedang menatapnya. Aku tersenyum dan ia berjalan mendekat ke arahku.

“Hai Eunji”, sapanya. “Sedang apa disini?”.

“Aku …menunggu Sunyoung”, ujarku. “Kau sendiri?”.

“Hanya kebetulan lewat di sini saja”, katanya.

Kami pun kembali diam.

Tiga puluh detik..

Aku memutuskan untuk memulai pembicaraan.

“Jadi hari ini kau mendapat berapa surat?”, tanyaku.

Ia hanya tertawa kecil dan menatapku. Tawa itu membuat darahku berdesir lagi. “Tidak ku hitung”, katanya ringan. “Kau sendiri?”.

“Aku tidak memeriksa lokerku”, kataku. “Malas”.

“Ada-ada saja”, ujarnya. Aku pun tersenyum.

“Apa hari Sabtu kau tidak akan kemana-mana?”, tanyanya.

“Hmmm…sepertinya tidak”, jawabku sambil memilin milin ujung kaus ku. “Memangnya kenapa?”.

“Bagaimana kalau kita pergi menonton?”, usulnya. “Ada film baru di bioskop. Aku yang membayar tiketnya. Kau mau?”.

Dia mengajakku pergi? Wow.

“Aku mau-mau saja”, kataku. “Jam berapa kita akan bertemu?”.

“Aku akan menjemputmu jam 6 sore”, ujar Donghae oppa. “Rumahmu dimana?”.

Aku memberi tahu alamat rumahku dan ia mencatatnya di ponsel nya. Aku tersenyum membayangkan sabtu malam nanti. Nonton di bioskop, makan malam, dan mungkin….

Aih, aku telah dikendalikan perasaanku sendiri. Perasaan aneh ini.

“Jangan sampai lupa”, katanya. Bagaimana bisa aku lupa? pikirku.

“Aku janji aku tidak akan lupa”.

“Thanks, Eunji”. Ia pun mengacak-acak rambutku sebentar dan sepertinya seluruh darah dan panas tubuhku mengumpul di wajahku.

“Eh..i..iya. Sama-sama”, jawabku terbata-bata.

“Kalau begitu aku harus pergi”, kata Donghae oppa sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya. 

“Sampai ketemu lagi”.

“Sampai ketemu juga”, balasku. Ia pun berjalan menjauh dariku, meninggalkan diriku yang masih tersenyum sendiri disini. Kemudian ia melihat ke belakang dan tersenyum padaku.

Rasanya suhu udara mulai naik beberapa derajat.

“Eunji?”, ujar seseorang sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tersadar dari lamunanku sendiri dan menatap Sunyoung yang kini sedang membawa beberapa buku di tangannya.

“Oh, hai”, kataku berusaha tenang. “Sudah dapat bukunya?”.

Sunyoung tersenyum kecut sambil menghela nafas. “Kau melamunkannya lagi, kan?”.

“Siapa?”.

“Siapa lagi kalau bukan Donghae-oppa-mu itu”, katanya sambil berjalan. Aku menyamakan langkah dengan Sunyoung. Kami berjalan keluar dari sini.

“Dia mengajakku pergi Sabtu malam nanti”, ujarku pelan-pelan.

“MWO???? KAU SERIUS???”, pekik Sunyoung refleks. Kini beberapa orang melihat ke arah kami dan aku pura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi.

“Hhhh, tidak usah berlebihan begitu”, kataku saat kami sampai di lobi. “Memangnya kenapa kalau dia mengajakku pergi? Dia hanya mengajakku pergi menonton, bukan ke tempat yang romantis atau bagaimana”.

“Bisa saja dia menyiapkan sebuah kejutan untukmu”, kata Sunyoung. “Kau tidak tahu kan apa yang ada di pikirannya?”.

Aku mengangguk-angguk, membenarkan kata-katanya. “Yah, mungkin saja”.

“Kau menyukainya?”, tanya Sunyoung yang langsung menimbulkan pertanyaan di hatiku. Apakah ini sekedar suka biasa yang jika dibiarkan akan hilang sendiri, atau rasa yang berkembang lebih besar lagi jika aku mendiamkannya?

“Aku sendiri bingung”, jawabku.

“Kalau kau bingung dengan perasaanmu sendiri, kemungkinan besar kau menyukainya”, kata Sunyoung sambil tersenyum padaku.

“Aku meragukan pernyataanmu”, balasku lagi.

“Terserah, tapi lambat laun kau akan mengetahuinya”. Aku menunduk dan menatap sepatu kets chuck taylor ku dengan tatapan tidak menarik.

“Aku harus pulang”, ujar Sunyoung. “Sampai jumpa besok. Dan sukses untuk hari sabtu ya !”, katanya dengan cukup keras. Aku menggeram pada Sunyoung yang sedang berjalan di trotoar sekarang, sambil menahan hasrat untuk tersenyum. Ia pun mencibir ke arahku. Anak itu…..kenapa perkataannya seperti mengetuk perasaanku sendiri, meminta jawaban atas kebimbanganku?

~***~

Minhee, menurutmu yang mana yang bagus?”, kataku sambil menaruh beberapa baju di atas tempat tidurnya.

“Bagus untuk kemana?”, tanyanya lagi. Matanya masih fokus pada sebuah buku mengenai pola kalimat dalam bahasa Jepang.

“Ke bioskop. Dengan Donghae oppa”, ujarku, yang sontak membuatnya menoleh.

“Donghae? Yang menjatuhkan ponselmu waktu itu?”. Aku mengangguk.

“Untuk mu…sepertinya yang ini dengan yang ini. Dengan celana pendek yang ini”, kata Minhee sambil menunjuk sebuah kaus putih dan cardigan panjang hingga ke atas lutut warna biru muda, juga celana pendek jeans berpinggang tinggi.

“Kau yakin?”, ujarku.

“Itu hanya pendapatku”.

Aku mengangkat baju itu dan mencocokannya. “Pilihan yang bagus”, ujarku. Aku pun berjalan ke kamar dan mengganti bajuku dengan kaus, cardigan, dan celana pendek tadi.

“Wow”, kataku sambil mematut diri di depan kaca, memperhatikan diriku sendiri dari atas ke bawah. Cantik. Tinggal merapikan rambut saja, pikirku. Aku pun menyisir rambutku dan menjepit poniku dengan jepit rambut besar warna hitam putih.

Sekarang baru jam 5.45. Aku menunggu dengan sabar di ruang tamu ku yang luas sambil memakaikan wedges warna biru muda ini ke kakiku. Setelah itu, mataku menelusuri ruang tamu keluarga ini sambil mengingat ingat lagi memori masa lalu. Ada memori yang membuatku tersenyum saat mengingatnya, ada juga yang membuat dadaku terasa sesak karena merindukannya.

Pandangan ku tertuju pada foto keluarga yang lengkap. Ada Appa, Eomma, aku, dan Minhee. Foto itu diambil sekitar empat tahun yang lalu, saat aku masih SMP. Minhee berada di paling pinggir sebelah kiri, menggenggam tangan Appa sambil tertawa lebar. Aku, menggenggam tangan Appa di sebelah kiri dan tangan Eomma di sebelah kanan. Ekspresi kami semua sama, sedang tertawa. Ah, aku jadi rindu saat saat itu. Saat dimana keluarga kami masih lengkap.

Tiga tahun yang lalu, Eomma dan Appa bercerai. Aku kurang begitu tahu alasan mereka bercerai. Setiap mereka berdua bertengkar, aku yang nekad saat itu mengajak adikku pergi keluar rumah sampai mereka berdua mencari kami. Awal-awalnya mereka berdua memarahi kami, tapi lama kelamaan karena mereka bosan, mereka hanya mendiamkan kami. Merasa taktik kami—maksudku taktik ku—tidak berhasil, kami tidak menyerah. Mulai dari pulang telat, sering pergi keluar rumah, mengabaikan mereka, pokoknya kami menganggap rumah bukanlah “istana” kami lagi. Pada akhirnya, semua tidak ada artinya. Mereka memang bukan tercipta untuk satu sama lain. Aku bisa membayangkan rasa sakit yang mereka rasakan. Menikah selama 17 tahun dan memiliki dua orang anak, bukan perkara mudah untuk dilupakan. Kini aku dan Minhee menetap di rumah Appa, sedangkan Eomma ku sudah pindah ke Pyongyang. Sesekali saat liburan, atau saat ada waktu, aku dan Minhee mengunjungi rumah Eomma di Pyongyang, tapi Appa tidak pernah ikut. Aku mengerti alasannya. Jadi hanya aku dan Minhee saja yang pergi.

Meskipun tugas Appa bertambah satu—yaitu menjaga dan mengurus kami, tugas Eomma sebenarnya—setelah mereka bercerai, Appa selalu berusaha meluangkan waktu untuk kami. Kalaupun tidak bisa, aku juga paham. Sebagai pemilik restoran dan hotel yang sudah memiliki berbagai cabang di Korea Selatan, tidak dipungkiri kalau Appa pasti sangat sibuk. Walaupun begitu, Appa seringkali membuatkan kami makan malam yang super lezat. Belum lagi beliau harus mengurus kami berdua—aku dan Minhee. Jadi aku lebih memilih untuk selalu menurut perkataan Appa-ku, karena aku tahu beratnya beban yang ia rasakan.
Aku mengabaikan rasa sesak yang mendorong diriku untuk menangis dan memandang foto lainnya. Kebanyakan disini adalah foto aku dan Minhee. Foto kami saat baru lahir, saat balita, saat pertama masuk pre-school, sampai foto kelulusan ku yang baru saja dipajang beberapa minggu yang lalu. Menelusuri dinding ruang tamu kami mungkin sama hal nya dengan mengetahui sejarah dan perkembangan keluarga kami dari tahun ke tahun.

Bel rumahku pun berdering dan aku segera bangkit dari sofa ruang tamu. Aku melihat dari jendela dan tersenyum. Donghae oppa sudah datang. Aku tersenyum dan membuka kan pintu untuknya.
Sejenak aku terpana dengan penampilannya sekarang. Dengan kemeja hitam dan kaus abu abu serta celana jeans hitam, aku tidak tahu kenapa aku bisa terpukau. Padahal sepertinya biasa saja.

“Hai Eunji. Kau cantik”, ujarnya. “Lama menunggu? Maaf aku terlambat dua menit”. Aku tertawa kecil mendengar permintaan maafnya, sekaligus tersanjung atas pujiannya.

“Tidak apa-apa”, kataku. “Dua menit itu tidak lama, kok. Ayo, kita pergi sekarang”.

“Apa adikmu ada di rumah?”.

“Ada, dia sedang membaca di kamarnya. Kenapa?”.

“Boleh aku bertemu dengannya?”. Aku terdiam sejenak, kemudian masuk ke dalam rumah lagi.

“Ayo, masuk dulu”, kataku. “Akan aku panggilkan”.
Donghae pun masuk dan aku segera berjalan menuju kamar adikku. Aku mengetuk pintu kamarnya dan sesaat kemudian ia membuka pintunya.

“Ada apa?”, tanyanya langsung. Aku membawa nya ke ruang tamu, ke tempat Donghae berada sekarang. Minhee tampak terkejut karena nya. Sekarang ia hanya memakai kaus rumah yang lusuh dengan celana tiga perempat. Minhee menatapku heran.

“Kenalkan, ini adikku. Jung Minhee”, kataku pada Donghae. Donghae mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Minhee dan Minhee menerimanya dengan sedikit ragu-ragu.

“Annyeonghaseyo, Donghae imnida”, ujar Donghae pada adikku. Adikku terdiam sebentar, kemudian ia baru membuka suara.

“Jung Minhee imnida, bangaptaseumnida Donghae-ssi”, balas adikku sambil membungkuk.

“Oppa, panggil saja aku oppa”, kata Donghae.

“Ne..Oppa”, ujar adikku sedikit canggung. Aku tersenyum dan memandang mereka berdua.

“Ayo”, ujarku pada Donghae. “Dan Minhee, jaga rumah baik-baik. Kalau Appa pulang dan menanyakanku, bilang aku sedang pergi, oke?”.

“Arraseo”, kata adikku sambil tersenyum. “Bersenang senang lah. Aku akan menjaga rumah disini”.

“Hati-hati Minhee”, ujar Donghae. Kami pun melangkah keluar pagar dan ku dengar bunyi pintu di kunci di belakangku.

“Ayo, duduk di sini”, kata nya sambil mulai menyalakan sepeda motornya. Aku duduk di belakangnya dengan posisi menyamping. Agak canggung, tapi aku berharap kami lama-lama saja di jalan.

Setelah kami memakai helm, sepeda motor yang membawa kami berdua ini mulai menembus jalanan Seoul yang cukup padat di malam minggu. Lampu lampu jalan mulai hidup dan menerangi jalanan yang ada di bawahnya. Pusat pertokoan, restoran, hotel, dan semua bangunan di sini mulai berlomba lomba menerangi langit yang mulai gelap dengan lampu ber watt besar yang berwarna warni. Aku tersenyum diam diam, memandang kota Seoul yang gemerlap di malam hari.

“Minhee”, kata Donghae pelan.

“Ya?”.

“Jangan sampai kau jatuh dari motor dan membuatku dipenjara”. Aku tertawa kecil menanggapinya.

“Jadi?”.

“Berpegangan lah”, katanya. Aku pun memegang bagian samping kemejanya dengan erat. Tuhan, jangan biarkan kami cepat sampai, batinku.

Aku jadi teringat kata Sunyoung beberapa hari yang lalu.

“Kalau kau bingung dengan perasaanmu sendiri, kemungkinan besar kau menyukainya”

Mungkinkah aku menyukainya?

90 persen dari perasaan dan benakku mengatakan ya.

Oh God.

~***~

“Kau suka film nya kan?”, tanya Donghae padaku saat kami beranjak dari kursi bioskop.

“Suka”, jawabku. Aku diam diam tersenyum.

Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Aku dan Donghae pun keluar dari bioskop bersama pengunjung lainnya. Film yang kami tonton tadi adalah Hello Strangers, yang cukup menyegarkan pikiran kami karena bergenre romantic comedy. Tiba-tiba Donghae meraih tanganku dan menggenggamnya, diantara kerumunan pengunjung yang baru keluar.

“Jangan sampai kau hilang di sini. Tidak lucu jadinya”, katanya sambil masih berjalan. Aku tersenyum dan mendapati fakta kalau dia mengkhawatirkanku. Mungkinkah?

Kami pun menuruni tangga menuju halaman bioskop. Saat itu, beberapa pengunjung menabrakku dan menyebabkanku sedikit oleng. Kehilangan keseimbangan. Di saat aku akan jatuh, aku refleks memeluk Donghae yang ada di sampingku. Ia juga secara tidak sadar menahanku agar tidak jatuh.

“Hati-hati”, ujar Donghae. “Aku tidak ingin kau jatuh berguling-guling disini. Membuatku malu”. Aku tersenyum dan mendorongnya menjauh, melepaskan pelukanku.

Kami pun naik ke atas motor dan ia segera menjalankan motornya, menuju rumahku. Aku memberi petunjuk arah karena ia lupa dengan jalannya. Jalanan sekarang padat merayap. Untungnya kami naik sepeda motor, jadi bisa menyelinap di celah-celah satu kendaraan dengan kendaraan lainnya.

Dua puluh menit kemudian, kami sampai di rumahku. Aku turun dan membuka helmku, memberi lagi ke pemiliknya.

“Gomawo untuk hari ini”, ujarku sambil tersenyum. “Sampai ketemu—“

“Tunggu, Eunji”, potongnya. “Apa kau merasa senang?”.

“Tentu saja aku merasa senang”, jawabku.

“Maksudku, apa kau merasa senang menghabiskan waktu denganku?”.

“Pastinya”, kataku mantap. “Kenapa?”.
“Apa kau ingin terus seperti ini?”.

“Itu….”, jawabku ragu-ragu. “Kalau iya, kenapa, dan kalau tidak, kenapa?”.

“Kalau iya aku juga sama senangnya denganmu. Kalau tidak…”

“Kau mau bicara apa sih?”, ujarku, tidak tahu kemana arah pembicaraannya.
Ia menghela nafas habis-habis dan menatapku tepat di bola mataku. Aku merasa gugup tapi tidak mampu juga untuk melihat ke arah lain. Kemudian ia tersenyum sambil meraih salah satu tanganku dan menggenggamnya.


“Eunji-ah..”. 



To Be Continued ~


RCL nya ditunggu ya ^^