Eunji POV
Aku dan Donghae keluar dari toko
buku sambil menjinjing sebuah kantung plastik besar dan berat. Buku buku
referensi untuk tugasku memang banyak. Sedikit sedikit lama lama jadi bukit.
Satu buku memang ringan tapi kalau ditumpuk banyak-banyak berat juga.
“Mau ku bantu?”, kata Donghae
sambil berusaha mengambil kantung plastik itu dari tanganku.
“Ah..ani, tidak usah. Aku bisa
sendiri”, jawabku. Padahal dalam hati aku ingin beban ini dibagi dua agar lebih
ringan.
“Gwaenchana, aku saja yang
membawa”. Ia pun mengambil beberapa buah buku yang cukup tebal dan
memasukkannya dalam tasnya.
“Gomawo”, kataku singkat. Donghae
hanya tersenyum padaku.
“Jadi…bagaimana? Masih mendapat surat
penggemar?”, kataku mengawali pembicaraan. Donghae tertawa kecil menanggapiku.
“Kenapa? Kau cemburu?”, ia
membalasnya dengan pertanyaan. Aku menggeleng.
“Ani…aku hanya bertanya”.
“Ada sih…tapi tidak sebanyak
sebelum kita punya hubungan”, jawabnya.
“Ah, apa mereka tidak tahu kalau
kau tidak single lagi?”.
“Tahu. Tapi mereka pura-pura
tidak tahu”.
“Aneh”, ujarku. Kabar tentang aku
dan Donghae yang menjalin hubungan memang cepat sekali menyebar, entah dengan
media apa. Bagaimana tidak, namja paling populer bersanding dengan yeoja yang
tak kalah populer juga. Such a hot gossip, right?
Oke, oke. Tadi itu hanya
bercanda. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri tapi begitu lah kenyataannya.
“Apa kau juga masih mendapat
surat dari ‘penggemar’ mu?”, tanya Donghae sambil memandang langit siang
menjelang sore yang menaungi kami sekarang.
“Um…hanya beberapa”, kataku
jujur.
“Baguslah kalau begitu”, ujarnya.
“Aku takut kau akan…berpindah haluan?”.
“Yak ! Kau bicara apa !”, kataku
sambil memukul pelan bahunya. Ia hanya tersenyum sambil mengacak acak rambutku.
“Bagaimana kabar adikmu?”, tanya
Donghae.
“Minhee...sekarang dia punya
teman baru”.
“Memangnya sebelumnya dia tidak punya teman?”.
“Punya, tapi tidak terlalu
banyak”, jawabku. “Sekarang dia jadi sering menghabiskan waktu dengan temannya
itu. Kebetulan ia tinggal di seberang rumahku”.
“Oh ya? Namja? Atau yeoja?”.
“Namja. Namanya Kyuhyun.
Kelihatannya dia baik. Mereka berdua cocok sekali. Sama sama kutu buku, sama
sama suka main game pula”, terangku panjang.
“Apa mereka seumuran?”.
“Ah, iya. Mereka sama sama kelas
11 sekarang”.
Donghae mengangguk-anggukkan
kepalanya dan kami terus berjalan. Kebetulan toko buku dan rumahku tidak
terlalu jauh jaraknya hingga kami
memutuskan untuk jalan kaki saja.
Kami pun menyebrang jalan dan ia
meraih tanganku untuk menggenggamnya. Aku melirik Donghae sejenak dan tersenyum
malu. Ia ikut tersenyum dan kembali menatap jalanan, mencari celah celah dan
waktu yang tepat untuk kami menyebrang.
“Ayo, sekarang”, ujar Donghae.
Aku mengangguk dan berjalan bersamanya.
Dari sudut mataku, aku melihat
sepeda motor yang jaraknya sangat dekat denganku, hampir menabrakku. Aku
mati-matian ingin melakukan gerak refleks agar menjauh tapi tidak, otakku
ingkar melakukannya. Aku pun membelalakkan mataku saat sepeda motor itu….
BRAK
“Eunji !”
~***~
Minhee POV
“APA?”, ujarku terkejut saat
Donghae oppa menelfon. “Oke, oke, aku akan segera ke sana. 15 menit lagi aku
akan sampai”.
Aku begitu terkejut saat
mendengar Eunji eonni tertabrak sepeda motor saat akan menyebrang. Ku hentikan
bacaanku dan segera memakai baju yang pantas secepat kilat. Kemudian membuka
pintu kamar dengan tergesa gesa dan segera keluar rumah, tak lupa mengunci
pintunya. Dengan secepat yang ku bisa aku berlari menyusuri jalan keluar menuju
jalan raya. Aku tidak boleh terlambat. Ini sangat sangat mengerikan hingga aku
nyaris meneteskan air mataku.
Sampai di jalan raya aku segera
menyetop taksi, dan memberitahukan rumah sakit tempat Eonni berada sekarang.
Aku duduk dengan gelisah, ditambah pula jalanan sore yang macet membuat
kegelisahanku membuncah. Aku ingin cepat sampai, doa ku dalam hati.
~***~
“Donghae oppa !”, kataku di ujung
telfon. “Oppa dimana? Aku sudah di luar rumah sakit !”.
“Di depan ruang UGD”, jawab
Donghae oppa. Aku berlari melewati jalan masuk rumah sakit yang luas dan tidak
menghiraukan lelahnya kakiku. Aku harus sampai, segera. Meskipun aku tidak
ingat dimana ruang UGD.
Setelah aku mencari cari ruang
UGD, aku menemukannya dan mendapati Donghae oppa sedang berdiri di depan pintu
ruangan tersebut. Aku segera menghampirinya dan ia terkejut melihatku.
“Minhee”, ujarnya. “Akhirnya kau
datang”.
“Mana eonni?”, tanyaku dengan
nafas yang masih tersengal-sengal.
“Masih di dalam”, jawab Donghae
oppa sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.
“Memangnya kenapa eonni bisa
tertabrak? Apa Oppa tidak melihatnya?”, tanyaku lagi.
“Dia…”Donghae oppa terlihat
lelah, ia menaruh kedua telapak tangannya di wajahnya dan menghela nafas berat.
“Aku tidak tahu, Minhee, aku mohon jangan salahkan aku. Kami sedang menyebrang
waktu itu, dan saat itu aku sedang melihat ke arah berlawanan. Saat ada sepeda
motor dia tidak menghindar atau bagaimana, malah terdiam, dan aku..aku..aku
tidak sempat…”
“Terdiam?”, kataku. “Aneh sekali.
Bukankah dengan gerak refleks seharusnya eonni menghindar atau bagaimana…”.
“Itu yang aku tidak tahu”, kata
Donghae oppa. “Minhee, apa kau mau memaafkanku atas keteledoranku?”.
“Aku…”, kataku lalu terdiam. “Aku
tidak tahu oppa. Lebih baik oppa minta maaf saja pada Eunji eonni”.
“Baiklah—“
Pintu UGD pun terbuka dan kami
berdua serentak melihat ke dalam. Dokter itu mempersilahkan kami masuk, dan kami
pun masuk ke dalam ruangan berbau obat obatan campur darah itu.
Aku melihat Eunji eonni terbaring
lemah disana, tak tersirat senyuman di wajahnya seperti yang biasa ia lakukan.
Aku sedikit terisak dan mengenggam tangan eonni. Aku takut akan terjadi apa-apa.
Aku takut Eonni tidak akan bertemu denganku lagi besok. Aku takut, aku cemas,
aku mengkhawatirkan saudara ku satu satunya ini.
“Pasien ini mengalami luka cukup
dalam di bagian kepalanya, namun tidak terlalu parah. Hanya perlu pemulihan dan
waktu istirahat sekitar satu minggu lebih”, jelas dokter yang menangani Eunji
eonni. Aku menghela nafas lega, karena Eunji eonni tidak menderita sesuatu yang
lebih parah.
“Seminggu?”, kataku lagi.
“Ya, seminggu sampai dua minggu”,
ujar dokter itu meyakinkan ku.
“Tapi dokter..”, Donghae oppa
mulai berbicara. “Biasanya jika orang menyadari kalau dia akan di tabrak, dia
akan refleks menghindar. Tapi Eunji…aneh sekali. Dia hanya diam di tempat..”.
Dokter itu sedikit terkejut
dengan pernyataan Donghae oppa. Aku sendiri menatap keduanya bingung.
“Benarkah?”. Donghae oppa
mengangguk.
“Coba saja datangi bagian
neurologi, mungkin kalian akan mendapat penjelasan yang lebih lanjut”, kata
Dokter itu yang langsung membuatku bergidik ngeri. “Saya tinggal dulu”.
Pintu pun tertutup dan hampa
langsung menyelimuti ruangan ini. Aku menggenggam tangan Eonni, berharap dia
bangun dan langsung tertawa melihat eskpresiku yang sedang separuh menangis
ini. Tapi tidak, dia tidak terbangun.
Sementara itu Donghae oppa
mengelus kepala Eonni yang ditutupi perban separuhnya dengan tatapan penuh
penyesalan dan penuh harap. Ia menundukkan kepala, mungkin menahan tangisnya.
Aku jadi ingin mempercepat waktu, ke waktu dimana Eonni sudah sembuh dan bisa
tertawa lagi.
“Oppa..”, ujarku. Donghae oppa
pun melirik ke arahku. “Oppa tidak salah. Jangan terlalu dipikirkan, oppa.
Lebih baik kita berharap dan berdoa supaya Eonni cepat sembuh”.
Donghae oppa kembali
menghembuskan nafas berat, seakan berusaha menunjukkan isi pikirannya sekarang.
“Aku juga berharap begitu, Minhee”.
Ya, berharap. Hanya itu yang bisa
kami lakukan sekarang.
“By the way…kenapa dokter tadi
menyarankan untuk memeriksakan Eonni ke bagian neurologi?”, kataku bimbang. Apa
eonni mengidap sebuah penyakit?
“Aku..tidak tahu juga”, balas
Donghae oppa. “Tapi sebaiknya kita turuti saja kata dokter itu. Dia lebih tahu
dari kita”.
Aku mengangguk angguk,
mempertimbangkan perkataan Donghae oppa di pikiranku.
“Semoga ini bukan awal dari
sesuatu yang buruk”, kataku penuh harap.
~***~
Aku melirik ke kiri dan ke kanan
dengan intens. Beberapa orang yeoja yang tidak ku kenal di sekolahku menatapku
seakan aku adalah mangsa mereka. Aku tetap tersenyum meskipun dalam hati aku
takut akan menerima cercaan dari beberapa orang di antara mereka.
“Kyuhyun, bisa hentikan
permainanmu?”, ujarku perlahan tentunya.
“Sekali ini saja. Untuk
pembuktiannya”, kata Kyuhyun tak kalah pelannya.
Baiklah, aku jelaskan. Kyuhyun
memintaku berpura pura menjadi yeojachingu nya agar yeoja yeoja di sekolah ini
berhenti mengincarnya. Dan aku di iming imingi oleh dua buah novel terbaru yang
sudah ku tunggu tunggu rilisnya oleh Kyuhyun dan apa yang bisa kulakukan selain
menerima tawarannya? Aku akui, aku mudah terbujuk bila menyangkut soal buku.
Dan kini, ia sedang merangkulku dari kantin hingga menuju kelas. Wajar saja
satu sekolah tahu. Ia menyatakan perasaannya (lebih tepatnya, berpura pura
menyatakan perasaannya) di depan umum yang tentu saja sudah ia scenario kan
sebelumnya. Memalukan !
#Flashback
Aku sedang sibuk menghabiskan
makananku di kantin, ketika Kyuhyun menyenggol tanganku dan ia tersenyum. Aku
sudah mengetahui scenario nya, jadi aku berpura-pura gugup.
“H..hai Kyu”, ujarku pelan.
Akting ku sangat bagus waktu itu. Benar benar seperti seorang yeoja yang
mengincar Kyuhyun kemudian disapa oleh Kyuhyun. Gugup.
“Hai Minhee”, balas Kyuhyun yang
langsung membuat beberapa yeoja melirik ke arah kami. Mereka sibuk berbisik
bisik, yang pastinya sedang membicarakanku.
Kyuhyun menarik tanganku dan
mengajakku berdiri. Ia mengajakku ke tengah kantin sambil menggandeng tanganku.
Hampir semua orang di kantin melihat ke arah kami. Aku semakin gugup.
“Minhee, aku mungkin baru
mengenalmu sejak insiden di toko buku beberapa minggu yang lalu. Dan kita
bertemu dengan kejadian yang tidak mengenakkan sebenarnya. Tapi…”. Ia
menghentikan perkataannya sejenak dan suasana berubah menjadi hening. Kyuhyun
masih menggenggam tanganku.
“Tapi aku tidak bisa membohongi
diri sendiri. Aku suka Minhee”.
Lihat, betapa pandainya dia
berbohong.
Suasana kantin berubah menjadi
riuh dan aku menundukkan kepalaku, berpura pura tersenyum. Walaupun bohongan
tapi aku masih tetap merasa gugup. Sampai sampai tanganku bergetar karena
nervous. Siap siap saja, aku akan mendapat banyak ‘serangan’ dari kakak kelas
maupun teman teman seangkatanku sendiri.
“Aku mau Jung Minhee menjadi
yeojachingu ku”, ujarnya kepadaku sambil tersenyum manis.
Jantungku berdebar tidak
beraturan mendengar perkataannya.
“A..aku..”, kataku pura pura
terbata bata. “Aku mau”.
Semua orang sepertinya terkejut.
Yeah, siapa sangka Kyuhyun yang anak baru disini, yang populer se antero (?)
sekolah menyatakan perasaannya padaku. Jung Minhee, yeoja populer hanya karena
prestasinya. Seperti mengharapkan pohon apel akan berbuah pisang. Seperti
itulah ekspetasi orang lain.
Flashback Off
Dan akhirnya, aku bernafas dengan
lega. Aku sampai di kelas dengan selamat. Setelah Kyuhyun melambaikan tangannya
padaku dan membentuk seulas senyum di wajahnya yang bisa melelehkan hati yeoja
manapun (kecuali aku), ia beranjak dari kelasku. Aku pun duduk di bangku ku
dengan pura-pura tenang dan senang.
Aku jadi berpikir bagaimana bila
perkataannya beberapa hari yang lalu itu benar benar, tanpa ada kepura-puraan.
Aku jadi bingung akan menerimanya atau tidak. Dan aku tersadar, kenapa aku harus
memikirkannya? Memangnya aku punya perasaan apa padanya? Tidak ada kan?
Dan kenapa aku terus memikirkan
hal itu?
Aku menggaruk garuk kepalaku
dengan bimbang.
Apa perasaan itu benar benar ada
di hatiku tapi aku tidak menyadarinya?
~***~
Aku tidak percaya dengan isi
amplop cokelat yang ku pegang sekarang. Aku malah berpikir, apa aku sedang
bermimpi?
Tadi aku mengambil hasil tes
Eonni ku dari rumah sakit bagian neurologi. Seperti kata dokter di UGD waktu
itu, aku membawa Eonni ku ke bagian neurologi. Ia menjalani serangkaian tes
untuk menentukan penyakit apa yang sedang di deritanya, dan memintaku untuk
mengambil hasil tesnya beberapa hari lagi.
Dan inilah, hasil tes nya ada di
tanganku sekarang.
Sebelumnya aku jarang mendengar
nama Spinocerebellar Ataxia. Dan kini, Eonni ku adalah salah seorang pengidap
dari penyakit yang tidak bisa di sembuhkan tersebut.
Fantastis. Aku tidak pernah
meminta anggota keluarga ku untuk diberikan sebuah penyakit parah, namun yang
terjadi justru sebaliknya.
Aku mengusap air mata yang
akhirnya jatuh tanpa ada halangan dari sudut mataku. Tidak, pikirku. Menangis
tidak akan menyembuhkan Eonni ku. Aku pun berusaha menahan gejolak yang
bergemuruh dalam dada ku.
Sebisa mungkin aku harus bertahan.
Kemudian aku mengambil ponselku,
teringat sesuatu. Ku cari kontak dengan nama “Appa” di ponselku, kemudian
menekan tombol dial. Dengan takut takut aku mendengar suara nada sambung
tersebut. Aku pun mondar mandir di sekitar kamarku, menunggu Appa yang mungkin
sedang berbicara dengan kliennya atau sedang melakukan hal lainnya menjawab
telfonku.
“Halo, Minhee”, sapa Appa ku dari
seberang.
“H..hai Appa”, jawabku pelan.
“Sekarang Appa ada dimana?”.
“Appa sedang ada di Busan”.
Jawaban Appa seakan meruntuhkan harapanku.
“Di Busan..?”, ulangku.
“Ya Minhee, kenapa?”.
“Kapan kita bisa bertemu, Appa?”,
tanyaku. “Ada sebuah hal yang penting”. Sangat
penting.
"Lusa Appa akan pulang”, jawab
Appa ku lagi. “Kalau memang benar benar mendesak, Appa akan pulang besok”.
“Ah, ani, tidak apa-apa”,
tolakku. “Kalau Appa memang bisa lusa, ya sudah, aku akan menunggu. Sampai
jumpa, Appa”.
“Benarkah?”.
“I..iya, benar. Sampai jumpa,
Appa”.
“Sampai jumpa juga Minhee”.
Aku memutuskan sambungan dan
menghempaskan diri ke tempat tidur. Sekarang bagaimana? Apa aku bisa bertahan
selama dua hari dengan perasaan was-was?
Aku teringat dengan Eomma. Dan
kemudian aku teringat Appa. Andaikan mereka tidak bercerai, mungkin sekarang
aku sudah bisa mengadu dengan mereka. Dan aku tidak usah menanggung beban ini
sendirian.
Aku bahkan tidak meminta untuk menanggung semua ini, namun sekali
lagi, semua yang tidak ku minta malah terjadi.
Sambil menatap nanar amplop
cokelat berisi pernyataan mengejutkan itu, aku berpikir. Aku akan mengirim
hasil tes ini kepada Eomma, setelah Appa pulang. Biarlah kertas itu saja yang
berbicara, kata kataku tak akan cukup untuk menjelaskannya. Dan yang pasti,
Eonni belum boleh tahu tentang hal ini. Aku bukannya bermaksud menyembunyikan,
tapi aku masih berpikir kalau Eonni belum berhak tahu hal ini. Ia harus siap dulu,
baru bisa mengetahuinya.
Layar ponsel ku berkedip kedip
dan ponselku bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku mengambilnya dengan
malas, dan niatku untuk mengangkat telefon itu juga berkurang saat membaca
caller ID nya.
"Ada apa?”, kataku tanpa basa
basi.
“Minhee, kau bisa keluar rumah
sekarang? Aku ada di depan pintu”.
“Bagaimana kalau tidak?”.
Helaan nafas Kyuhyun terdengar
jelas dari sini. “Jangan mengulur ulur waktu, tukang komplain. Atau aku akan
mendobrak pintu rumahmu dengan membawa pisau dan—“
“Baiklah, aku akan keluar”,
ujarku.
“Aku tunggu 15 detik lagi”,
katanya. Aku berjalan dengan malas keluar dari kamarku hingga menuju pintu
masuk rumahku.
“Lima detik lagi…”
Aku membuka pintu rumah ku dan
mendapati Kyuhyun sedang berdiri di sana dengan senyuman khas nya. Memang, saat
itu dia hanya memakai baju biasa, tapi…sekarang aku menemukan sesuatu yang lain
pada dirinya. Perasaan yang ku rasakan di sekolah waktu itu muncul lagi. Aku
menepis segala anggapan dan opini yang bermunculan di benakku, kemudian menatap
lantai teras rumahku yang dingin untuk menyembunyikan perasaan gugupku.
Umm..anyway, kenapa aku harus
merasa gugup?
“Minhee…”, ujarnya. Ia memegang
bahu ku dan aku mengadah ke arahnya.
“Apa?”, kataku senormal mungkin.
“Kau tahu Minhee..aku ingin kau
membantuku..”.
Tolong, jangan katakan hal yang
lebih buruk, batinku.
“Mengerjakan tugasku”, ujarnya
pendek.
Aku yang tadinya diam, kemudian
membentuk seulas senyum yang berubah menjadi tawa. “Kau gila, mendatangi
rumahku hanya untuk mengatakan itu?”.
“Karna kalau aku langsung
mengatakan nya denganmu tadi, aku yakin kau akan menolak”, katanya mengutarakan
pendapat. “Jadi….kau mau?”.
“Terserahmu lah”, kataku malas.
“Aku…sebenarnya sedang tidak ingin diganggu”.
“Ah, maaf, kalau begitu aku akan
pergi”, ujar Kyuhyun, yang langsung membuatku sedikit bersalah.
“Bukan, maksudku..bukan begitu.
Tapi aku sedang...umm..tidak usah dipikirkan”, kataku terbata-bata.
“Baiklah,
aku akan membantu mu”.
Sebuah senyuman yang terbentuk di
wajahnya lantas langsung membuat darahku berdesir. “Terimakasih”.
Aku mengangguk. Lantas aku bisa
berbuat apa lagi?
~***~
“Bukan begitu, coba lihat
contohnya”. Kyuhyun menyerahkan buku teks nya ke arahku dan aku mengambilnya
dengan malas malasan. Meskipun pemandangan taman belakang rumah Kyuhyun yang
berada di depan mataku ini cukup menyegarkan, tapi tetap saja, hati tidak bisa
berbohong. Aku masih gelisah dengan hasil tes Eunji Eonni.
“Sampai saat ini kami belum menemukan penyembuhnya”.
Kata kata Dokter Joonmi—spesialis
neurologi terbaik di kota ini—yang ku temui tadi terngiang ngiang di kepalaku.
Aku menatap layar laptop di hadapanku dengan pandangan kosong. Pikiranku
melayang kemana-mana.
Sebagian diriku ada yang
meyakinkan kalau kata kata Dokter Joonmi itu salah. Dia kan manusia juga, siapa
sih manusia normal yang bisa memprediksi suatu hal dengan 100 persen tepat?
Siapa tahu suatu saat ada manusia yang bisa menemukan penyembuh dari penyakit
Eonni ku itu. Pasti ada, tapi belum ada manusia yang menemukannya.
Dan, sebagian diriku lagi
mengatakan kalau kata Dokter Joonmi ada benar nya. Dia jauh lebih tahu tentang
hal itu dariku. Dia jauh lebih berilmu dariku, pastinya selama dia menajdi
spesialis neurologi dia belum menemukan orang yang menemukan penyembuh
Spinocerebellar Ataxia.
Aku menenggelamkan kepalaku
frustasi.
“Kecepatan perkembangan penyakit yang di derita pasien tergolong
medium. Sebaiknya pelaksanaan terapi di lakukan secepat mungkin”.
Arrgh, kenapa harus Eonni? Dia
baru berusia 19 tahun bulan Mei kemarin ! Prestasinya juga banyak, sampai
sampai aku tidak bisa menghitungnya. Ia baru saja masuk Universitas paling
prestisius di Seoul ! Hidupnya baru berjalan kurang dari seperlima abad dan dia
sudah mendapatkan sebuah hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya? Kenapa?
“Minhee, kau baik baik saja?”.
Aku mendengar Kyuhyun berkata padaku, namun aku masih menenggelamkan kepalaku
sendiri di pangkuanku. Aku menggeleng.
Ya Tuhan, aku ingin menangis,
tapi apa gunanya aku menangis?
“Jangan tahan tangismu”.
Aku mengangkat kepalaku sendiri
dan menatap Kyuhyun. “Apa gunanya aku menangis?”.
“Kalau itu akan membuatmu lebih
baik…sebaiknya kau menangis”.
“Aku tidak pernah merasa lebih
baik setelah menangis”.
Perlahan Kyuhyun mengulurkan
tangannya dan mengelus kepalaku berkali-kali. “Kau ini, sudah tau sedang sedih
malah masih keras kepala”.
Aku terdiam, menatap rerumputan
di bawah kakiku dengan pandangan kosong. Perlahan lahan air mataku turun dari
setiap sudut mataku, membasahi pipiku dan akhirnya jatuh ke tanah. Aku menangis tanpa bersuara. Aku
tidak ingin suasana hatiku malah merusak ketentraman orang lain. Urusan ku
biarlah aku sendiri yang mengurus, yang lain tidak usah terlalu ikut campur.
“Katakan padaku..apa yang
mengganjal di pikiranmu sekarang?”. Kyuhyun masih mengelus kepalaku, sementara
aku juga masih meneteskan air mata.
“Aku….”. Otakku kehabisan
kata-kata. Apa yang harus ku katakan? Yang sejujurnya? “Sulit menjelaskannya.
Maaf”.
Kyuhyun tersenyum ke arahku,
bukan senyum evil yang seperti biasanya, tapi kali ini sangat menenangkan.
“Aku
siap mendengarnya kapan pun kau mau”.
“Terimakasih”. Walaupun singkat,
tapi aku benar benar tulus mengatakannya.
“Apa yang bisa membuatmu lebih
baik?”.
Mati, mungkin. batinku. “Aku tidak tahu”. Sambil memilin milin
ujung dress selutut ku, aku menghapus air mataku. Sudah cukup menangisnya,
sekarang lebih baik mencari solusi untuk menenangkan diriku.
“Dalam keadaan apapun kau selalu
keras kepala”, ujar Kyuhyun. “Aku pikir tidak baik untuk membuat dirimu sendiri
tersiksa dengan segala kemandirianmu”.
“Dan kenapa tiba-tiba kau begitu
peduli?”, kataku tanpa sempat berfikir dulu.
uasana pun kembali sunyi, dan
tiba tiba perasaan bersalah masuk ke dalam hatiku. Semakin banyak lagi beban
yang memberatkan pikiranku, semakin lemas aku rasanya.
“M..maaf”, kataku memulai
pembicaraan lagi. “Aku..terlalu emosi. Maafkan aku”.
“Aku mengerti. Dan sebaiknya kau
pulang saja, tenangkan dirimu”. Kyuhyun pun bangkit dari tempat kami duduk dan
aku mengikutinya.
“Aku berusaha peduli denganmu”,
ujar Kyuhyun saat kami sudah sampai di depan pagar rumahku. Aku menunduk, dan
menyadari manusia di hadapanku ini tidak sepenuhnya buruk. Bahkan sebenarnya
Kyuhyun itu baik, sangat baik malahan. Namun ia menutupinya dengan sifat sifat
lain. Yang kadang membuatku geram.
“Pegang ucapanmu”, kataku
singkat.
“Bukan hal yang sulit”, jawabnya.
“Kalau kau sudah ingin bercerita, ceritakanlah. Aku tak akan memaksamu
sekarang”.
“Ah, ne”, kataku seraya
mengangguk. “Sampai jumpa, Kyu”. Aku pun berbalik dan berjalan menuju rumahku.
“Minhee”, panggil Kyuhyun. Aku
memalingkan wajahku ke arahnya. Namun Kyuhyun malah terdiam dan tatapannya
terpaku pada ku.
“Ada apa?”.
“Tidak jadi. Kembali lah”. Aku
melihatnya sebentar dan menghela nafas, kemudian berbalik lagi ke rumahku.
Dengan lemas aku membuka pintu
rumahku yang lebar dan menutupnya kembali saat aku sudah sampai di dalam. Aku
ingin tidur, ingin melupakan semuanya secara sementara. Semua fakta yang baru
aku terima memberatkan kepalaku, membuat aku merasa lelah tanpa sebab. Dan,
untungnya, di saat semua orang lebih peduli dengan apa yang akan ia makan hari
ini, aku masih mempunyai seseorang yang peduli padaku dan
mau membantuku.
Siapa lagi kalau bukan
tetanggaku, si evil itu.
Aku melihat pintu kamarku
terbuka, dan jantungku langsung berdebar lebih kencang. Astaga, aku menyadari
kecerobohan ku sendiri. Jangan sampai ada yang melihat….
“Minhee? Ini apa?”.
Doaku tidak terkabul.
Eunji eonni memegang sebuah kertas putih dengan logo rumah sakit di kop nya, dan aku membelalakkan mataku. Tidak mungkin….
To Be Continued
Hehe maaf ya lama nge postnya. Aku lg sibuk sama ujian sekarang, maklumlah, anak kelas 9. Ditambah pula flashdisk aku rusak T_T ini aja pake flashdisk temen ._.
Maaf kalo masih mengecewakan ^^